test pack

3.9K 552 105
                                    

CHAPTER; Eighteen 

"Di sana ada toko obat yang memiliki apoteker hebat, kau bisa bertanya-tanya tentang perutmu yang membesar dan muntah-muntah," kata Sarah saat kita berjalan melewati trotoar yang ramai. "Menurutku, kau hamil."

Tidak. Jangan sampai. Louis akan marah jika mengetahuinya.

"Kau bergurau," kataku malas.

Sarah mengibaskan tangannya tak sabar dan menarikku ke dalam toko kecil, ada seorang gadis berambut biru elektrik dengan sepuntung rokok yang nyaris habis.

"Maaf, ini toko obat, apa memang diperbolehkan merokok di sekitar orang sakit?" tanya Sarah kepadanya.

"Apa kau lihat ada orang sakit di sini?" kata apotekernya sinis. "Jadi, apa yang membuat kalian ke sini, nona sehat? Pil bunuh diri? Beberapa orang memakai pil itu belakangan,"

Aku menaikkan alisku, tak pernah aku menyukai orang yang arogan dan cuek seperti dia. "Sebenarnya kami ke sini untuk menanyakan beberapa pertanyaan tentang kesehatanku,"

"Kalau begitu, salah tempat," katanya memutar mata.

"Benar," kataku jengkel. "Ayo, Sarah."

"Tunggu, dia pintar," bisik Sarah. "Saudariku mendadak memiliki perut bengkak dan muntah-muntah, kau tahu mengapa?"

Apoteker itu langsung membuang rokoknya, tampak tertarik. Dia pasti gila jika dia juga mengira aku hamil. Apoteker itu menatapku, nyaris kelihatan menahan tawa.

"Perawan?" tanyanya.

Apa? Pertanyaan sialan macam apa itu.

"Menstruasimu datang terlambat?" tanyanya lagi.

"Ya."

"Kapan kau muntah?"

"Setiap pagi."

Dan sepertinya apoteker itu sudah tak tahan lagi, ia langsung tertawa keras dan mengambil kotak panjang berwarna merah muda dan meletakkannya di depanku. Test pack?

"Apa ini—"

"Ada kamar mandi di sini jika kau terlalu takut memakainya di rumah," katanya memotong.

***

Tampar aku sekarang. Apa aku bermimpi?

Di sini muncul dua garis merah, yang artinya hamil, membuatku ingin memuntahkan semua organ tubuhku dan mati. Tapi tentu itu tak akan terjadi, dunia tak akan semurah hati itu untuk membiarkan kita mati meninggalkan masalah.

Aku meremas perutku sendiri, mengingat Louis. Namun ketukan pintu membuatku tersentak dan mendengar suara si apoteker yang menyuruhku untuk cepat-cepat keluar.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Sarah pelan saat kami keluar dari toko obat.

"Positif," kataku ngeri. "Jangan bilang siapapun, Sarah."

Sarah terdiam, lalu mengangguk pelan dan menggambar bentuk silang di dada kirinya. "Kau harus menemui Louis besok, memberitahunya."

"Tidak mungkin," kataku. "Bisakah kau berhenti bergurau?"

"Jika pendapat kita tak sama bukan berarti aku bergurau. Sekarang otakmu hanya sedang lumpuh, aku membantumu berpikir. Aku tahu kau ingin bertemu Louis, memberitahunya, memeluknya, berharap reaksi yang seharusnya. Namun pikiranmu pun terlalu di tutupi oleh rasa takut," kata Sarah, cepat dan jengkel.

"Aku—aku tak bisa, kau tahu itu."

"Tentu kau bisa, Nicole," kata Sarah sambil menghentikan laju taksi di depan mereka dan masuk. "Ayo."

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang