punishment

4.9K 643 53
                                    

CHAPTER; Eight 

"Aw," rintih Nicole pelan, saat Louis mengencangkan ikatan pada pergelangan tangannya, kemudian pria itu membuka pintu ruang bawah tanah secara kasar.

"Masuk," kata Louis cepat, lalu mendorong Nicole keras bahkan sebelum Nicole sempat mengangkat kakinya untuk melangkah. "Kau tahu apa akibatnya jika batang hidungmu saja terlihat oleh Styles?"

"Tidak--tidak tahu, tentu saja," kata Nicole gemetar. Ia menjerit ketika tangannya yang terikat kencang ditarik paksa ke atas oleh Louis, lalu Louis mengikat tali itu diatas gantungan yang terdapat disana--Nicole tak memperhatikan gantungan ini sebelumnya.

Louis berbalik dan mengambil gunting, merobek kemeja yang dipakai Nicole dengan kasar hingga kemeja itu jatuh terlepas sepenuhnya dari tubuh Nicole lalu membuka ikat pinggangnya sendiri, melilitkan ujung ikat pinggangnya dikeempat jari kekarnya sendiri.

"Kau tahu apa yang akan terjadi jika si keparat Styles melihatmu?" kata Louis.

Nicole menggeleng, lalu menjerit keras saat Louis mendaratkan permukaan ikat pinggang itu ke perutnya yang datar.

"Diam, jalang," desis Louis. "Kau tahu? Dia akan mengambil kau. Dan aku? Akan kehilangan lagi."

Satu cambukkan lagi yang membuat Nicole mengatupkan bibirnya keras-keras agar tak menjerit, seperti permintaan Louis.

"Bersyukurlah kau, aku tak punya listrik setrum untuk kujepit dipayudaramu," katanya, disusul oleh satu cambukkan lagi.

Nicole menutup matanya, mengatupkan bibirnya, dan menangis tanpa suara, hanya airmatanya yang menetes. Louis dengan amarahnya yang membara, kembali mencambuk Nicole dengan kasar.

"Listen, dia akan membawamu ke California, atau Boston, atau Santa Fe, atau tempat lainnya!" kata Louis marah. "Menjualmu ke bajingan-bajingan hidung belang, dan kau tak akan memaafkan dirimu seumur hidup jika kau tertangkap."

Nicole enggan menjawab, rasanya kedua bibir itu sudah terkunci dan Nicole bahkan tak tahu bagaimana cara membukanya. Suara dentingan jam yang melaju setiap detiknya menghiasi suara cambukkan Louis yang semakin bertubi-tubi. Tidakkah ia lelah?

"Louis," Nicole membuka matanya. "Please, stop."

Louis terdiam, napasnya menderu. Matanya masih menatap Nicole penuh amarah. "Kau tak terima? Aku bisa memberikkanmu pada Harry dan mencari jalang lain--"

"Aku bukan jalang!" teriak Nicole, yang setelah itu mendapatkan satu cambukkan yang lebih keras dan membuat Nicole menjerit.

"Kau memang jalang," kata Louis, menekan kata tengahnya dan mengcengkram rahang Nicole.

Satu airmata kembali jatuh saat Nicole membuka matanya, menatap mata biru laut Louis yang mendadak berubah menjadi gelap. Ia kembali mengatupkan bibirnya untuk menahan isakan.

Louis mendesah, menyatukan dahinya dengan dahi Nicole, menjatuhkan ikat pinggang itu lalu pergi meninggalkan Nicole dengan tangan terikat keatas dan setengah telanjang.

***

Nicole membuka matanya yang terasa sangat lelah, tangannya terlalu sakit karena menahan bobot tubuhnya.

Pintu terbuka, dan Louis muncul disana, tangannya membawa sehelai kain yang ia taruh diatas meja. Ia kembali mengambil gunting dan melepas ikatan ditangan Nicole dengan lembut, dan memeluk gadis itu dengan erat.

Nicole memeluk leher Louis, bibirnya yang dingin menyentuh permukaan kulit leher Louis yang hangat, dan tanpa disadarinya bahwa kakinya lunglai. Sementara itu, dalam keheningan ini, Nicole bisa merasakan detak jantung Louis dan napas pria itu yang teratur. Kemudian Louis melepaskan pelukannya.

"Pakai pakaianmu," katanya pelan. Nicole agak terkejut mendengar suara Louis yang retak bagaikan kaca tipis. "Obati aku, oke?"

Nicole mengangguk, lalu Louis kembali pergi. Ia mengusap pergelangan tangannya yang merah, begitu juga dengan pinggul dan perutnya yang memerah. Dengan segera ia memakai pakaian yang disiapkan oleh Louis: kaus oblong putih dan celana longgar yang tebal.

Setelah memakai pakaian yang diberikan oleh Louis, ia keluar kamarnya dan menghampiri Louis yang sedang menyaksikan berita televisi.

"Hilangnya para korban masih belum bisa ditemukan, keluarga korban cemas dengan keadaan korban yang--"

Lalu Louis mengganti channel televisinya saat menyadari Nicole berada didekatnya.

"Persiapan handuk dan baskom kecil ada didapur," kata Louis.

Nicole mengangguk, berjalan ke dapur dan mengambil handuk kecil dan baskom kecil, lalu mengisi baskom kecilnya dengan air dan menambahkan dengan beberapa es.

"Hujan es mulai melanda kota London, para penduduk diharapkan untuk tinggal dirumah malam ini," kata seorang presenter menutup acara.

Nicole kembali dan duduk disamping Louis, mencelupkan handuk itu kedalam baskom dan meremasnya hingga lembab. Dengan perlahan Nicole mengusap memar Louis, dan dengan handuk kecil lainnya ia mengompres mata Louis.

"Bilanglah kalau sakit," kata Nicole, setengah tersenyum canggung.

"Aku menyakitimu, Nicole," kata Louis tak percaya. "Dan kau takut untuk menyakitiku?"

Nicole mendengus dan terkekeh disaat yang bersamaan. "Aku tak bisa melihat manfaat dari balas dendam. Ayolah, lagipula aku disini berniat untuk mengobati bukan untuk menyakiti." Nicole hendak berkata bahwa ia hanyalah korban penculikkan Louis dan ia tak bisa melakukan apapun untuk melawan pria itu, namun ia mengurungkan niatnya.

"Oh," kata Louis.

Nicole mengangguk, menekan-nekan sedikit memar Louis dan saat selesai, ia mencuci dan kembali menyimpan peralatannya. Namun handuk kompres dimata Louis tetap berada ditempatnya.

"Nicole," panggil Louis saat Nicole hendak kembali ke ruang bawah tanah. "Ini mulai musim dingin, ruang bawah tanah bukanlah ide bagus untuk mendekam diri saat sedang perubahan cuaca, kecuali jika kau berniat untuk bunuh diri."

"Oh," kata Nicole, bingung hendak menjawab apa. Memangnya Louis menyiapkan kamar lain untuknya?

"Aku berencana tidur didekat perapian agar hangat," katanya. "Maukkah kau menemaniku?"

Nicole terdiam, sedetik ia berpikir bahwa dirinya akan menggila. "Ya, tentu."

Louis tersenyum dan mengatupkan bibirnya disaat yang bersamaan lalu berjalan kekamarnya untuk mengambil bantal dan selimut tebal, tangannya memegang handukbyang mengompres matanya. Lalu Nicole sendiri dengan canggung duduk disofa yang tadi Louis dudukki, hingga Nicole bisa merasakan suhu hangat tubuh Louis yang tertinggal dipermukaan sofa.

Louis kembali lebih cepat daripada yang Nicole kira, ia meletakkan bantal itu disisi kiri sofa dan membiarkan Nicole berbaring, ia pun berbaring disamping gadis itu dan meletakkan kepala Nicole diatas bahunya. Louis memiringkan tubuhnya, hingga tangannya yang lain dengan leluasa memeluk tubuh Nicole sepenuhnya.

Suara petir terdengar keras dari luar. Nicole biasanya akan berlari ketakutan ke kamar Alec atau Sarah, dan mendekam dibawah selimut bersama salah satu dari mereka--tergantung Nicole akan ke kamar siapa. Nicole tak pernah luput rasa takutnya saat petir itu berlangsung walaupun ia sudah ditemani Alex atau Sarah atau bahkan Ayahnya. Namun kini ia merasa aman, rasa aman yang sudah lama tak ia rasakan semenjak ia berumur 10 tahun, itu adalah saat-saat terakhir Ayahnya menemani dan memeluknya tidur. Kini ia sudah terlalu besar untuk diperlakukan seperti itu oleh Ayahnya.

Saat Nicole mendongak, ia mendapati mata biru laut ke abu-abuan itu sedang menatapnya dengan lelah. Memar dan bengkak diwajahnya sudah tak separah beberapa menit yang lalu, dan Nicole agak lega melihatnya.

"Tidurlah," kata Louis.

Nicole mengangguk, membalas pelukan Louis dan mengusap punggung pria itu. Kepalanya ia benamkan kedalam leher Louis, menghirup aroma jeruk yang samar dari tubuh pria itu. Tubuhnya terbungkus dipelukan Louis, dan ia merasa begitu aman dan kecil didalamnya. Lalu Nicole tanpa sadar sudah terlelap dan pergi kedalam alam mimpi, mimpi yang membawanya pergi dari dunia nyata dan membuatnya hilang akan rasa perih diperutnya.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang