arena

5.2K 583 74
                                    

CHAPTER; Six 

Nicole's Point of View

Louis menggenggam tanganku, menarikku kedalam sebuah arena pertarungan yang begitu asing. Disini terlihat banyak sekali pria bertattoo yang sedang bersiap untuk bertarung diatas arena tersebut. Aku bergidik, diam-diam berpikir apakah Louis akan menjualku dengan harga yang tinggi kepada salah satu dari mereka.

"Hey, Loui!" teriak Niall.

"Siapa ini?" tanya salah seorang pria dibelakang punggung Niall, tepat sebelum Louis bisa menjawab sapaan Niall.

"Hey, Zayn," balas Louis berbasa-basi, menjawab lelaki dibelakang punggung Niall yang kini sudah berdiri didepannya.

"Jarang sekali kau membawa gadis kesini--bahkan tak pernah," lanjut Zayn, menatapku dari atas sampai bawah. Tangannya terulur untuk perkenalan, aku menyambutnya. "Aku Zayn, siapa namamu?"

Aku merasakan sebuah bola besar menyangkut ditenggorokanku. Sialan karena aku begitu canggung. Apalagi Louis pernah memberinya sebuah nama samaran, namun kurasa aku lupa-- "Karen," kataku akhirnya, lalu melepaskan cengkraman tangan Zayn.

Diam-diam aku mendengar Louis menghela napas lega.

"Well, Karen, kurasa kau bisa memilih bangkumu sendiri dan pergilah bersama Niall. Aku ada beberapa urusan dengan kekasihmu," katanya.

Niall tersenyum kepadaku sembari menaikkan alisnya, wajahnya terlihat begitu kekanak-kanakkan hingga rasanya mustahil melihatnya disini. "Ayo," katanya.

Dengan begitu mereka pergi, menaiki tangga yang membawa mereka pada bangku yang semakin lama semakin naik. Aku menoleh kebelakang pada Louis saat aku menaiki tangga, ternyata Louis sedari tadi sedang memperhatikanku. Louis mengatupkan bibirnya lalu mengangguk meyakinkan bahwa ia dan aku akan baik-baik saja, lalu memperhatikan Zayn yang sedang berbicara kepadanya. Aku pun ikut menoleh kedepan, mengikuti Niall yang mulai melangkah kedalam lautan para penonton.

Kami duduk diantara mereka, tidak terlalu jauh dari panggung persegi besar yang terletak ditengah-tengah sana. Sementara arena ini berbentuk seperti stadium, hanya saja bedanya dengan stadium asli; disini ada sebuah panggung kotak berpagar elastis ditengah-tengah sana, panggung itu cukup besar, dan disini 10 kali lebih gelap, sesak, dan menyeramkan.

Kami duduk terdiam--Niall memainkan ponselnya. Ada satu kursi sebelahku yang kosong, dan kupikir itu memang kursi itu didedikasikan untuk Louis. Aku menatap kursi itu, dan baru saja akan mengalihkan pandanganku saat seseorang mendudukki kursi yang seharusnya didudukki oleh Louis. Ini membuatku sedikit khawatir tentang Louis. Ia akan duduk dimana? Atau jangan-jangan...

"Um, Niall?" panggilku ragu.

"Ya?" Niall menaikkan alisnya, menoleh ke arahku.

"Louis akan menyusul kesini, kan?" tanyaku.

Niall mengernyit bingung. "Louis tidak memberitahumu?" tanyanya, membuatku mengikuti ekspresi wajahnya. Sial, sial, sial. Tolong, jangan katakan--"dia akan bertarung menghadapi Canon, menghasilkan pertarungan terhebat malam ini!" katanya antusias.

Oh, pikirku sarkastik. Aku mengernyit jijik. Bagaimana bisa orang-orang ini menikmati hiburan seperti ini?

"Tidak, Louis tidak bisa melakukan ini," kataku pelan. "Aku harus membawanya pulang."

Niall membulatkan matanya, menahanku dengan cepat bahkan sebelum aku bisa menggerakan pinggulku sedikit saja untuk bangkit dari kursi sialan ini.

"Percuma, kau hanya akan berakhir sia-sia," kata Niall menggeleng.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang