CHAPTER; Five
Nicole's Point of View
Aku membuka mata, membiarkan cahaya ini menusuk kornea mata secara langsung yang terasa begitu menyengat. Tanganku terulur ke samping, mencoba mencari kehangatan Louis atau setidaknya keberadaan Louis disampingku namun yang kutemukan hanyalah seprai beludru yang begitu lembut dan nyaman. Aku mengernyit, ini bukan dikamar ruang bawah tanah seperti kemarin.
Keterkejutanku bertambah saat mendengar suara wajan berdesis diluar ruang sana, apa aku masih berada dirumah Louis? Dimana aku sebenarnya?
Aku bangkit, bertumpu pada kedua sikutku dan menatap tubuhku yang sudah berpakaian. Kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan hijau tua, dan celana pendek yang bahkan lebih pendek daripada ujung kemejanya.
Lalu aku bangkit, bertanya-tanya pada diri sendiri karena Louis tak mengikatku. Namun ada sedikit ketakutan untuk beberapa alasan, bagaimana jika Louis ternyata menjualku karena Ele sudah kembali padanya saat aku terlelap dan aku sekarang sedang berada dirumah seorang bajingan hidung belang bertubuh gempal dan berambut tipis yang menjijikkan?
"Louis?" panggilku sedikit berhati-hati, langkahku menuruni tangga dan sebuah kelegaan luar biasa langsung menyerangku saat aku mengenali ruang tamu ini. Aku masih berada disini.
Sekilas aku bisa melihat Louis yang sedang berkutat dengan wajan dan pisaunya. Agak menggelikan sebenarnya, melihat seorang pria yang hampir bisa dibilang seorang kriminal atau psikopat berada disebuah dapur membuat beberapa bacon atau makanan lainnya.
"Hey," kataku pelan, agak sedikit ragu apa Louis bisa mendengarnya karena suara desisan wajan bisa dibilang lebih besar daripada sapaanku. "Um--hey, apa aku bisa membantu?" kucoba menaikkan oktaf suara.
Louis menoleh. Sialan karena mata biru kelabunya itu menjadi terang bahkan terlihat agak transparan akibat pantulan sinar matahari. "Ya?"
Aku berjalan mendekat, melihat apa yang sedang ia masak dan ternyata hanyalah adonan pancake. "Pancake?" kataku.
"Kuharap aku bisa lebih mahir memasak," kata Louis. "Bisakah kau memasak ini? Aku takut keracunan."
Terkekeh geli, aku mengambil alih untuk memasak pancake itu dan melumuri atasnya dengan susu putih dan eskrim coklat yang tersedia dilemari pendingin. Kumasukkan kedua pancake itu kedalam lemari pendingin dan memasak bacon dan telur kocok, dan beberapa sosis goreng.
Semuanya sudah hampir tersedia namun aku masih harus menunggu beberapa menit lagi untuk sosisnya. Sementara kedua tangan kekar Louis mendadak sudah melingkar diperutku dan menarikku kebelakang, menarikku agar menjadi lebih dekat kepadanya. Dan secara diam-diam, aku merasakan kebutuhanku kepadanya yang mulai muncul.
Sosis itu kutiriskan dan kutaruh disamping bacon dan telur kocok, mencoba melepaskan tangan Louis untuk mengambil pancake dilemari es namun tak ada kuasa didalam diriku untuk melawannya.
"Hey," Louis tersenyum saat aku menoleh untuk menatap wajahnya yang berada disamping telingaku, dagunya bersandar dibahuku sementara suara paginya langsung menari-nari menuju gendang telinga. Aku tersenyum.
"Hey."
Louis melepaskan pelukannya, mengambil pancake dari dalam lemari pendingin dan masakan lainnya keatas meja makan. Sementara aku masih diam, merasakan kehangatannya dipunggungku yang masih terasa.
"Ayo," kata Louis. "Duduk dipangkuanku."
Mataku membulat secara otomatis--tidak, aku tak akan membantah. Namun aku terkejut atas kesenangan lainnya yang ia minta. Mungkin ini akan terdengar seperti jalang namun aku suka dengan semua sentuhannya. Ini membuatku merasa bergantung olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
stockholm syndrome • l.t
FanfictionKe mana rasa kebencian yang seharusnya kurasakan? Mengapa jantung ini malah berdetak lebih cepat dan membuatku gugup? Sialan. Apa yang terjadi denganku? WARNING: contain sexual scenes and harassing words. [18+] All Rights Reserved. Copyright 2014 b...