piano

3.8K 540 19
                                    

CHAPTER; Eleven

Selama beberapa hari, aku masih tetap berada di rumah orangtua Louis, mengingat kakiku yang belum begitu membaik. Louis semakin hari semakin jengkel, dan nyaris setiap pagi membentak orangtuanya agar pergi tur dan meninggalkan kami berdua.

Aku sudah bisa berjalan, tentu saja, orangtua Louis begitu baik dan senang membantuku. Anehnya, tempo hari Louis mengatakan bahwa ia ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini, namun ia pun akan marah jika aku mengajaknya pulang ke rumah yang 'sebenarnya'.

Suara denting garpu dan pisau Louis berdenting, ia menaruh kedua alat tersebut di atas piring kotornya dengan posisi silang dan membersihkan noda di sekitar bibirnya dengan kain tisu. Aku meliriknya sebentar, yang dibalas dengan tatapan sinisnya, lalu kembali makan.

Rencananya, dia akan kembali membawaku ke pesta frat di dekat rumahnya malam ini, sekalian untuk bertemu dengan Harry. Aku sedikit belum siap tentang itu, untuk kembali pulang dan meninggalkan Louis dan Harry berdua dalam kisah asmara mereka. Ada apa denganku ini?

Orangtua Louis kini berada di kamar mereka, sedang beristirahat, maka dari itu Louis membanting piring kotornya keras-keras ke dalam westafel, sengaja agar mereka mendengar dan tahu bahwa Louis tak senang berada di sini. Kemudian ia menatapku garang, dan memalingkan wajahnya lagi. Kenapa sih dia? Sejak Harry mendadak datang ke rumahnya pagi itu, dia menjadi sangat temperamen.

Oh, pikirku kemudian. Dia pasti sangat merindukan Harry dan tak bisa menahannya lagi. Beberapa orang akan menjadi temperamen jika mereka terkurung dalam kerinduannya sendiri.

"Sudah selesai?" tanya Louis, tapi langsung merebut piring kotorku yang sudah kosong. Aku tahu dia hanya ingin membanting piring yang lain lagi. Kemudian dia menatapku lagi, dengan tatapan yang susah di baca. "Cepat mandi, kita akan segera berangkat."

Aku mengangguk singkat, meneguk habis air putihku dan segera berdiri. Terpincang-pincang berjalan melangkah ke dalam kamarnya.

Sejak peraturan baru yang diputuskan oleh Louis, hubungan ini semakin terasa longgar, dan aku merasa hubungan penculik-sandera kami lebih baik daripada hubungan stranger seperti sekarang. Kami jarang berbicara, dan Louis hanya berbicara untuk memerintahkan atau bertanya sesuatu untuk basa-basi.

"Bisakah kau pelan-pelan saja?" tanyanya jengkel. Jika aku tak mengenalnya mungkin aku akan mengira dia khawatir.

"Kukira kau ingin aku untuk menjadi lebih cepat," sahutku. "Tahu kan, agar bisa lebih cepat bertemu Harry."

Dia menatapku aneh. "Itu bukan urusanmu, tentang aku dan Harry. Sana pergi."

Aku memalingkan wajahku dan mencibir, kemudian kembali berjalan. Perasaanku belakangan menjadi lebih emosional kepada Louis, semenjak peraturan baru itu pula.

Setelah sampai di kamar mandi, kakiku sudah mulai merasa pegal. Aku butuh air hangat sesegera mungkin. Maka, setelah mengunci pintunya aku segera menanggalkan semua pakaianku dan memutar-mutar air keran panas dan dinginnya, mengatur suhu. Orangtua Louis bilang, kakiku akan baik-baik saja terkena air, walaupun akan agak sedikit perih, asal setelah itu aku langsung mengoleskan salep dan alkoholnya ke luka.

Aku duduk di bathup, menaikkan kakiku yang sehat dan kemudian kakiku yang sakit, perlahan dan rasanya ternyata sangat perih. Aku meringis, tak berani menurunkan kakiku yang sakit namun perlahan aku menurunkannya. Sebisa mungkin aku tak berteriak memanggil Louis, untuk mengangkatku keluar. Tapi perlahan-lahan rasa perihnya berkurang, dan aku menghembuskan napasku lega.

Setelah membersihkan tubuh, termasuk sikat gigi, aku keluar dan mendapati Louis yang sedang menaruh pakaian miliknya untukku di atas ranjang. Dia menatapku sebentar, kemudian masuk ke dalam kamar mandi tanpa sepatah kata pun selain pakai itu dan menunjuk pakaian di atas ranjang dengan dagunya.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang