hot chocolate

3.4K 506 39
                                    

CHAPTER; Fourteen

Aku menyilang tanggal yang sudah kulewati. Sudah berapa lama aku di sini tanpa Louis? Dua minggu? Tiga?

Kutaruh kalenderku, lalu menyambar cokelat panas untuk kuminum. Di luar salju masih turun dengan lebat, hingga diprediksi kini tingginya sudah mencapai lutut jika kau benar-benar berniat menenggelamkan kakimu. Sementara aku duduk di depan perapian, dengan sweater tebalku yang berwarna krem, dan selimut hangat milik Alec yang menutupi kakiku serta cokelat panas yang asapnya mengepul di bawah hidungku.

"Jadi, Nyonya Nicole, bisa kau ceritakan ulang tentang luka di betismu?" tanya Detektif Irene, yang duduk di dekatku dengan alat tulisnya. Tak lupa dengan rambut pirangnya yang selalu digelung indah dan rapih.

Aku menghembuskan napas, kembali menceritakan ulang semua kebohongan yang sudah kusiapkan. "Aku mencoba kabur... melawan penculikku yang tak kuketahui namanya. Aku mengambil senjatanya yang tersimpan dan gagal, hingga kakiku terluka. Tapi tak gagal sepenuhnya, aku berhasil membuatnya tak sadarkan diri. Aku mengambil kotak obat miliknya dan kabur."

Aku berbicara dengan pelan, menghargai Detektif Irene yang sedang menulis semua kata-kataku. Semalaman aku menyiapkan naskah kebohonganku, membuatnya tampak masuk akal tanpa mengikutsertakan Harry dan Louis, atau bahkan Niall yang ikut membantu Louis.

"Semua cambukkan itu? Bisa kaujelaskan semuanya?" tanya Detektif Irene.

"Ya," kataku. Aku melirik rekaman yang dipegang oleh anak buah Sheriff Jackson yang tak kalah menyebalkan dan disiplin itu; Liam Payne. Dia membuat semua kata-kataku langsung tersambung ke semua radio seantero negeri. "Dia mencambukku jika dia marah, jika dia memiliki masalahnya sendiri."

Detektif Irene mengangguk pelan dan mencoret catatannya. "Masuk akal," gumamnya. Tentu saja, idiot, aku sudah menyiapkannya semalaman.

"Begitulah," gumamku juga. Aku ingin memutar mataku namun Liam menatapku tajam, seolah setiap pergerakkanku menurutnya sangat mencurigakan. Aku segera memandang Detektif Irene dqn memgabaikan pria botak itu--well, tidak botak sih.

"Nyonya Nicole, aku tahu aku sudah menanyakan ini ribuan kali; bagaimana bisa kau tak tahu nama penculikmu?" tanya Detektif Irene.

"Dia mengurungku di bawah tanah--pertamanya dia menyimpanku di peti. Dia selalu datang hanya untuk mencambukku. Tak ada teman atau kerabat yang datang untuk menyapanya saat memcambukku, lagipula ia tak repot-repot mengucapkan memperkenalkan dirinya sendiri," kataku.

Detektif Irene menyipitkan matanya, mulai curiga sepertinya. "Kau bilang dia mengurungmu di bawah tanah, hanya datang jika dia ingin mencambukmu. Lalu bagaimana kau kabur jika kau bahkan dimasukkan ke dalam kandang yang tak pernah dibuka pintunya?"

"Dia selalu menggantung tanganku ke atas saat mencambukku, tapi dia tak pernah mengunci pintu bawah tanah," kataku. "Aku menendang alatnya berkali-kali hingga ia nyaris tewas saat aku mencoba melepaskan diri. Lalu aku pergi, sempat tertahan olehnya yang menyebabkan luka di kakiku."

Detektif Irene kembali mengangguk untuk sekian kalinya. "Payne, tolong ambil gaun dan mantel itu."

Liam mengangguk, mengambil mantel dan gaun dari balik kursinya dan memberikan pakaian itu pada Detektif Irene.

"Mengapa kau mencuci ini?" tanya Detektif Irene penuh tuduhan. Ia memegang gaun itu seolah ingin meremukkanya. "Kami curiga kau ingin menyembunyikan identitas penculik itu."

Aku menggeleng, pura-pura pasrah dan sedih. "Untuk apa kulakukan itu?" tanyaku. Tentu aku melakukannya, aku mencintai Louis. Ada airmata yang meluncur di pipiku sebelum aku kembali berkata. "Aku gila. Aku tak ingin mengingat kenangan buruk itu." Aku gila. Aku merindukannya. Aku mencintainya. Sesungguhnya apa yang terjadi dalam diriku?

"Aku mengerti," Detektif Irene mengangguk. "Payne, suruh dia tidur."

Manusia robot itu mengangguk resmi, bangkit dan menyuruhku mengikuti semua perintahnya. Sesungguhnya keberadaan Liam lebih terasa untuk melindungiku bukannya mengawal Detektif Irene saja untuk menggantikan Sheriff Jackson yang sedang sibuk melacak keberadaan gadis-gadis malang lainnya termasuk Sarah, seolah-olah penculikku akan kembali menerorku. Rasanya aneh memiliki bayangan yang mengikutimu kemana-mana, kemudian menembak siapa pun yang mencurigakan dengan senapan di bahunya.

Aku merangkak di atas ranjang seperti anak kecil, dan membiarkan Liam menyelimutiku dengan kaku. Kemudian ia sendiri berdiri di depan jendela, menatapku tajam.

"Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu? Kau perlu berkedip," kataku lelah.

"Tidak," katanya kaku. "Tidur, Miss McCarten. Saya harus melindungimu di sini."

Aku menghembuskan napasku keras-keras dan berbalik memunggunginya. Aku memeluk gulingku, mencoba untuk tidur namun tak bisa. Selama sekitar tiga jam begini, dan aku berbalik melihat Liam yang masih sama posisinya dengan beberapa jam yang lalu.

"Bagaimana kau bisa bertahan seperti itu?" tanyaku.

"Kami memang diprogram untuk bertahan, Miss McCarten," katanya.

"Panggil saja aku Nicole, umur kita tak jauh," kataku jengkel.

"Maaf, Miss McCarten. Saya tak bisa," katanya. "Untuk menghormati keluarga yang diabdikan."

"Cih, kau ini budak atau tentara, sih?"

"Asisten pribadi Sheriff Jackson," katanya, nyaris terdengar kelewat bangga.

"Pasti menyebalkan melihat kumisnya yang berbentuk sikat gigj setiap hari," kataku sambil duduk.

Liam menatapku seolah aku ini kecoak terbang, lalu menahan dirinya. Menyenangkan sekali membuat robot ini jengkel.

"Tidak," katanya tegas.

Aku mengangguk pelan, kemudian membiarkan keheningan pecah di antara kami. "Jadi... kau punya pacar?"

"Sepertinya bukan urusan Anda, Miss McCarten," katanya. "Bisakah Anda tidur? Ada banyak hal yang perlu kukerjakan."

"Seperti apa? Berdiri di sana sampai aku bangun?" tanyaku, menahan tawa. "Aku tak akan tidur jika kau belum beritahu namanya."

"Sophia Smith," katanya keras-keras dan cepat.

"Sophia Smith?" ulangku. Pipinya merona. "Oke, aku akan tidur sekarang."

Kurasa dia ingin memastikan apakah aku menyadari rona merah di pipinya, karena beberapa kali ia mengerling tajam ke arahku, sisanya ia hanya memandang keluar jendela yang sesungguhnya pemandangan di luar sana terblokir total oleh batang pohon yang lebar. Aku pura-pura tak melihatnya, walaupun sepertinya seru jika meledeknya sekali lagi. Tapi ia tampaknya lelah.

"Kau lelah? Kau butuh tidur," kataku.

"Kurasa Anda tidak perlu membagikan ranjang Anda--"

"Siapa bilang?" tanyaku, dengan nada tinggi dan pura-pura terasa terhina. Wajahnya memerah seperti tomat. "Maksudku, kau bisa tidur di sofa."

Dia menggeleng keras, jika ia memiliki telinga kelinci mungkin telinganya akan menampar-nampar pipinya sendiri. "Tidak."

Aku mengangkat bahu. "Terserah, sih."

Kemudian ada keheningan, kalimatku barusan menjadi perbincangan akhir. Kurasakan mataku memberat, dan aku harus susah-susah membalikkan tubuhku untuk menghindari kontak mata dari tatapan si Payne yang tajam dan menyebalkan. Kemudian aku tertidur.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang