sarah mccarten

3.3K 513 55
                                    

CHAPTER; Fifteen 

Aku terbangun dan melihat Liam terlelap di atas sofa dengan lengan yang terkulai dari tepi sofa--kaki yang terluka. Merindukan Louis. Kedinginan. Aku sudah tak tahan lagi, jadi aku mulai tertawa keras melihat kegengsian Liam tadi malam dan Liam bangun dari tidurnya gegelapan, pipinya kembali merona saat menyadari bahwa aku menertawakannya.

"Sudah berapa lama kau tidur?" tanyaku.

"Saya tidak mungkin tidur, Miss McCarten. Saya menjaga Anda," katanya.

"Tak akan ada anggota keluargaku yang akan menculikku, Liam. Tenang saja. Kau bisa tidur semaumu," kataku.

"Itu bukan sikap yang bisa diteladani, melalaikan tanggung jawabnya," kata Liam malu. "Maafkan saya."

"Liam," kataku geram. "Tak apa-apa. Sekarang kau bisa tidur karena aku akan pergi mandi—kau tak akan menjagaku saat mandi, tentu bukan? Lagipula aku tak ingin memakai baju selagi kau memperhatikanku."

Liam menatapku tajam, seperti biasa, tapi kurasa dia pun tak tahan juga. Jadi dia kembali berbaring. "Oke," katanya pelan dan malu.

Aku mengangkat kedua bahuku, mengucapkan jika itu sebenarnya tak masalah. Liam adalah manusia, bukan robot, dia butuh tidur secukupnya—walaupun aku nyaris bertanya pada diriku sepuluh kali sehari apakah Liam adalah manusia sungguhan.

Tidak seperti biasa, aku membawa pakaian ganti dan obat-obat untuk memastikan jika Liam tak akan memperhatikanku berganti pakaian. Setelah itu, aku turun dengan Liam untuk sarapan, kembali ke kamar agar Liam bisa kembali tidur. Lalu aku melepas kalung dari Louis, yang selama ini tak pernah di lihat oleh Detektif Irene ataupun Sheriff Jackson.

Nyaman sekali. Bersandar ke headboard dengan selimut tebal yang melindungiku dari dinginnya cuaca, tanganku yang pucat mengusap kayu tersebut. Kayu berbentuk persegi dengan tebal kira-kira setengah sentimeter. Kemudian mataku menangkap sesuatu yang aneh, seperti ada celah tipis di antara keduanya.

Kuku jariku mulai memanjang, dan aku memanfaatkannya untuk menyelipkan kukuku ke sana. Aku mencoba membukanya, dari segala sisi, tapi celahnya enggan memberitahu apa yang ada di balik sana.

Aku menghembuskan napas, mendongakkan kepalaku dan melihat Liam yang sudah terjaga dan menatapku tajam.

Tak ada waktu untuk menyembunyikan kalung ini, ia sudah melihatnya. "Apa itu?" tanyanya tegas seolah-olah aku sedang memegang bom nuklir.

"Kalung," kataku santai. "Kenapa?"

"Darimana kau bisa mendapatkan kalung itu?" tanya Liam curiga.

Aku memutar mataku. "Membelinya, kau pikir apa? Kau curiga aku mencurinya?" tanyaku malas.

"Tidak, ak—"

Liam belum sempat menyelesaikan kata-katanya, karena suara ibuku yang menjerit memotongnya. Aku segera bangkit, betisku sakit saat berlari ke luar rumah.

Orangtuaku, dan Detektif Irene berdiri di ambang pintu—ibuku nyaris pingsan. Sementara Alec berlari tergopoh-gopoh dari kamarnya, berhenti di sampingku dan Liam. Matanya membulat, tapi aku belum bisa melihat siapa yang ada di pelukan ibuku, seluruh tubuhnya tertutup dan terbungkus oleh ibuku.

Tapi Alec menjerit keras. "Sarah!"

"Apa?" kataku dengan nada tinggi. Terdengar seperti suara panik, tapi bukan—err... mungkin iya. Aku berlari, melakukan hal seperti yang di lakukan ibuku saat aku sampai di rumah, menariknya ke dalam pelukanku erat-erat bahkan sebelum ibuku belum selesai memeluknya, tapi aku sudah tak tahan lagi.

"Ni—cole?" tanyanya gemetar.

Setelah beberapa hari tidak melihatnya, aku menjadi sadar begitu banyak kemiripan di antara kita—jadi kurasa teoriku tentang saudari kembar tidak identik ini salah (selama ini aku mengira begitu).

"Oh, Sarah," desahku lega.

Aku mendongak, dan terkejut setengah mati saat melihat Harry Styles yang menatapku dengan tajam.

***

Detektif Irene kembali mencoret catatannya ragu, kemudian mendongak menatap Harry yang kini duduk di ruang tengahku. Ia terlihat santai, tak bersalah, dan aku ingin menjerit di depan wajahnya--karena telah menjual Sarah, karena telah merebut Louis. Tapi kebaikannya untuk mengembalikan Sarah ke sini membuatku ingin menangis, memeluknya, dan berterima kasih sebanyak mungkin.

"Kau membeli Sarah? Kau melakukan sesuatu kepadanya?" tanya Detektif Irene tegas.

"Aku teman dekat dari seseorang yang menjual Sarah, dan semenjak teman dekatku memperkenalkan Sarah, aku menjadi dekat dengannya--aku tahu siapa saja yang pernah membelinya, aku ingin membantunya namun aku perlu rencana. Jadi kuputuskan untuk pura-pura membelinya untukku selamanya, dan membantunya kembali kepada keluarganya," kata Harry. Terdengar begitu ramah dan baik.

"Kenapa begitu? Kalian baru kenal, kan?" 

"Tapi sesuatu dalam diri Sarah mengingatkanku pada Ibuku yang pernah dijual oleh sepupunya sendiri dan meninggal karena tekanan batin," kata Harry cepat.

Aku menatapnya tajam. Apakah itu benar? Sesuatu dalam mata Harry yang berkilat membuatku nyaris yakin jika itu adalah kejujuran. Tapi aku tak tahu, tak akan ada orang yang benar-benar tahu kecuali--mungkin--Louis.

"Baik, jika begitu," kata Detektif Irene. "Kurasa kami tak perlu memasang lie detecter dan Anda bebas."

Bagus. Sudah tiga jam lebih Detektif Irene memainkan permainan tanya-jawab dan Harry menjawab semuanya dengan kebohongan yang masuk akal.

Harry mengangguk kaku, kemudian berjalan keluar. Aku menatap Sarah yang nyaris gila, menutup wajahnya sendiri dan tersedu-sedu. Pastilah yang ia memiliki pengalaman yang lebih buruk daripada dirinya, dan Harry dengan murah hati mengembalikannya ke sini. Dengan begitu aku segera bangkit, mengabaikan tatapan Liam, dan berlari mengejar Harry.

"Harry!"

Ia berbalik, terkejut saat aku memeluknya dan langsung melepaskannya lagi. Ia menatapku marah, namun segera memalingkan wajahnya.

"Terima kasih," kataku.

"Bukan masalah," jawabnya singkat.

Aku mengangguk kecil. Sejak tiga jam yang lalu, rasanya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Dan dari sekian banyaknya aku hanya mengingat satu. "Bagaimana dengan Louis?"

"Oh," katanya, seolah dugaannya benar bahwa aku akan bertanya keadaan lelaki itu. "Dia baik-baik saja, sepertinya, tapi aku tak bersama dia."

"Kenapa begitu?"

Harry menoleh ke arahku, menyipitkan matanya. "Kaupikir kenapa aku mengembalikan Sarah sia-sia? Tentu saja karena permintaan Louis. Tapi kenapa ia tak tinggal bersamaku? Kenapa ia mau aku menyelamatkan Sarah?"

Kenapa? Aku tak tahu.

Dia mendengus keras. "Tapi, Nicole, ini semua harus ada bayarannya."

"Apa itu?"

Harry melirik rumahku, memastikan tak ada orang yang dengar. "Jaga Louis dari mereka. Dan jangan pernah kembali ke Louis, jangan pernah cari dia."

"Aku tahu," kataku. "Siapa juga yang akan mencari seseorang yang selalu mencambukku?"

"Oh, dia tak mungkin selalu mencambukmu," katanya marah. "Mungkin dia hanya mencium bibirmu setiap detiknya, mengharapkan balasan yang setimpal."

"Apa maksudmu?" tanyaku ikut marah. Dari caranya berbicara, ia mengatakan aku adalah jalang yang sudah merebut hati kekasih milik oranglain.

"Pikir saja sendiri," katanya pelan.

Aku terdiam, kemudian membiarkannya pergi. Setelah beberapa lama, aku kembali ke kamarku, dan mendapati Detektif Irene yang berhasil membuka kayu dari bandul kalungku yang kuletakkan di meja kamar semenjak kedatangan Sarah.

Ia berbalik, dan aku nyaris membentaknya karena membuka barang privasi saat aku melihatnya bahkan lebih marah.

"Siapa ini?" tanyanya, menunjukkan foto Louis di dalam bandul tersebut.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang