party

3.9K 546 71
                                    

CHAPTER; Twelve 

Louis memarkirkan mobilnya perlahan, mematikan mesin kemudian menoleh ke arahku. Matanya terlihat begitu lembut dan keras di saat yang bersamaan, menusuk tepat di manik mataku. "Ayo."

Dia keluar, tidak repot-repot membukakan pintu dan aku pun memang yak berharap dia akan melakukannya, walaupun aku sering membayangkan dia melakukan itu.

"Kau akan bersama Niall malam ini," katanya, kemudian aku mendengar ia menggumam tak jelas yang samar-samar terdengar "cobalah berharap dia belum mabuk" atau apalah.

Suara dentuman musik yang keras langsung merayap masuk dan menendang gendang telingaku seakan-akan ingin merobeknya, membuatku berdengus dan berpikir bagaimana orang-orang ini bisa bertahan. Sementara Louis membalas sapaan orang-orang dan matanya mencari Harry dalam lautan manusia.

"Niall!" teriak Louis. Suaranya tenggelam dan nyaris tak terdengar di bawah dentuman lagu ini. "Cepat, Nicole."

Tangannya terulur mencari tanganku, dan saat mereka bersentuhan, dalam cara yang aneh aku merasakan kehangatan yang menjalar dari sana, dan ada sedikit rasa disetrum listrik, dan secara perlahan menghilang. Aku tak bisa berbohong untuk mengatakan bahwa aku ingin melepaskan tangannya.

Louis menarikku mendekat pada Niall. Dengan tangan yang lain, dengan gemas dan kasar Louis menarik bahu Niall yang sedang mabuk kepayang di bawah kandungan alkohol. "Sialan kau, kubilang jangan mabuk saat ditelfon tadi!"

"Hai, Louis," balas Niall, seakan tak mendengarnya. Jika aku berada di posisi Niall maka aku akan kabur dari tempatku berpijak jika Louis sudah menatapku seperti itu, namun Niall sendiri malah nyengir seperti bocah tolol. "Aku tak mabuk, ya sedikit sih."

Louis mengernyitkan hidungnya. "Sedikit? Ya, sekarang ruangan akan penuh dengan bau alkohol jika kau mengatakan satu kata lagi."

"Banyak alkohol di sana," kata Niall tak jelas, dan saat itu juga Louis mengibaskan tangannya kencang sehingga gelas merah yang digenggam Niall jatuh begitu saja. "Apa sih marah-marah? Cari Harry, ya?"

"Di mana dia?" tanya Louis, suaranya penuh emosi hingga aku harus memalingkan wajahku untuk mengurangi rasa sakitnya dan menyadari bahwa tangan kami masih bartautan, rasa sakitnya malah bertambah.

"Tuh, di dapur dengan beberapa lelaki hidung belang, mencoba transaksi," kata Niall. "Berubah pikiran rupanya? Mau mengembalikan Nicole? Kupikir kau..."

"Terima kasih atas informasinya, Niall," kata Louis keras-keras hingga nyaris berteriak. "Bisakah kau lakukan satu hal lagi untukku? Jaga Nicole di sini."

"Oh!" Niall seakan menyadari sesuatu, matanya yang kemerahan jadi berbinar senang. "Bolehkah aku bawa dia ke permainan Truth or Dare? Molly dan kawanannya sudah melakukan beberapa ronde dalam satu permainan, sayang sekali kau melewatkannya," kata Niall, mendadak cepat dan girang. Louis mengedikkan matanya tajam hingga senyum Niall kian pudar dan ia berkata dengan pelan, "Oke... tak akan."

"Bagus," Louis melepaskan tangannya mendadak hingga aku terkejut dan sudah ketahuan bahwa aku sempat menahan tangannya, aku tahu itu saat Louis menatapku dengan tatapan yang sulit di baca. "Diam di sini bersama Niall, oke?"

Tapi dia sebetulnya tidak benar-benar butuh jawabanku, dia pergi begitu saja. Untuk beberapa alasan aku ingin ia menciumku untuk terakhir kalinya tapi ia bahkan tak menoleh ke belakang saat berjalan dengan yakin ke arah dapur. Aku menghela napas dan menoleh ke arah Niall yang menatapku lembut, seakan tahu apa yang sedang kuharapkan.

Louis Tomlinson's Point of View

Harry ada di sana, dengan puas menghitung uangnya dan memasukkannya ke dalam dompet. Dulu aku sama sekali tak keberatan dengan pekerjaan Harry, namun entah kenapa kini pekerjaan itulah yang paling mengangguku. Yang kupikirkan sekarang hanyalah keselamatan Nicole, sesuatu dalam dirinya membuatku ingin dia mendapatkan apa yang dia pantas dapatkan.

stockholm syndrome • l.tTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang