Part 11 | Satu Tim

13 3 0
                                    

Oh, tanpa kusadari, Elia bangkit duduk, ia tertidur di taman, bersandarkan pada tangga dua kaki sebuah bangunan berwarna putih, berbentuk tabung dengan beberapa penyangga yang membuat celah besar.

Gadis itu mengucek mata perlahan, lagi-lagi perasaan janggal menghampirinya. Mataharinya tidak ada di langit. Padahal harusnya ia punya insting datangnya matahari.

Apakah akademi juga tutup mulut tentang fenomena aneh ini, sudah terjadi beberapa hali, tidak mungkin hanya fenomena alam, batin Elia kemudian bangkit berdiri, ia berjalan memasuki gedung asrama perempuan lalu menuju kamarnya berada.

Monic menyusut menjadi cahaya dan masuk ke dalam tubuh Elia sebelum majikannya menginjakkan kaki ke dalam kamar.

Semuanya masih tidur, batin Elia.

"Sudah mau pagi, akan kutunggu sebentar lalu ganti baju sebelum pergi untuk lari pagi." Gumamnya perlahan. Ia duduk kembali diatas kursinya, bersandar sembari melamun.

Tangannya ia letakkan diatas dada, bibirnya bersenandung perlahan. Elia menghitung detak jantungnya. Merasakan seberapa cepat jantungnya berdecak bersamaan dengan pikirannya yang mulai hanyut dalam lamunan.

Sekiranya, aku akan membuat daftar nama orang yang harus kuwaspadai, gadis itu mengambil pena dan kertas, ia menulis dalam secarik lembar putih itu sebelum teman sekamarnya terbangun.

Matanya perlahan mengatur hendak tertutup, kepalanya menolak untuk tetap mendongak. Setelah menyimpan cacatannya, gadis itu kembali bersandar pada kursi, lagi-lagi menyentuh dadanya dan merasakan detak jantungnya yang keras dan pelan.

"Elia," suara itu memecah lamunan, Elia menoleh, melihat sosok gadis seumurannya dengan rambut hijau menepuk pundaknya.

"Ada apa?" tanyanya balik.

"Kau masih terjaga?" mata Claire terlihat sayup, mungkin karena baru saja bangun dari tidur nya. Beberapa kali gadis itu sedikit tersandung dan nyaris jatuh karena nyawanya belum sepenuhnya sadar.

"Hati-hati," kata Elia mencoba menopang tubuh Claire agar tidak jatuh.

"Kau masih terjaga?" ulangnya. Elia hanya mengangguk pelan.

"Ini masih subuh, tidurlah lagi." kata Elia sembari membawa Claire ke atas kasurnya.

"Kau juga." Timpal Claire.

"Ayo kita tidur bersama." Tambahnya. Elia duduk di samping Claire, menatap wajah sahabat nya yang terlihat mengantuk.

"Kasurnya tidak akan muat."

"Tidak apa apa, kita sering melakukannya," balas Claire. Elia mengangguk pelan, ia berdiri.

Claire mengubah posisi nya jadi tertidur, agak memojok pada kasur dan memberi Elia tempat untuk tidur si sampingnya, bersama diatas kasur single itu.

Mereka berpelukan, beberapa kali terkekeh saat Claire membawa candaan di antara mereka.

"Sst tidur, nanti Meetha terbangun," ujar Elia diakhiri kekehan pelannya.

Mata Claire nyaris tertutup begitu mendengar suara Elia, ia berbisik --maaf-- yang entah apakah keluar dari mulutnya atau sekedar suara dari benak. Sedetik kemudian, gadis bersurai hijau itu terlelap dengan wajah cantiknya.

Elia menatap lama wajah sahabatnya. Memori nya terputar bagai piringan hitam yang menyanyikan lagu dansa. Dadanya terdesak, rasanya ia ingin membuang pikiran itu jauh jauh lalu memeluk gadis di hadapannya dengan erat.

Mungkin dia juga akan merindukan pelukan sang bunda. Ia agak membenci pikiran masa lalu yang selalu muncul menghantui malam.

<>

Elia: The Daughter Of SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang