Claire menatap serius pada Meetha yang malam ini menemaninya belajar. Elia sedang berlatih pedang, sementara keduanya sedang belajar bersama di dalam kamar asrama --mereka belajar seusai dari perpustakaan, begitu tahu bahwa perpustakaan mulai sepi di malam hari. Matanya menatap gelisah pada gadis bersurai biru panjang di hadapannya.
"Apa kau perlu sesuatu?" tanya Meetha yang menoleh. Mungkin ia sedikit terusik karena mata Claire yang terus menatapnya.
"Tidak..." jawab Claire pelan, sembari menggeleng.
"Kau baik-baik saja? Sakit? Apa ada yang membuatmu kepikiran?" tanya Meetha, rautnya mulai khawatir kala melihat sosok Claire yang biasanya ceria saat ini di hadapannya tampak sedang gelisah.
Aku belum bisa mempercayainya, batin Claire kembali menatap Meetha.
"Tidak, bukan apa-apa." Jawab Claire lagi, kali ini dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
"Apa kamu merasa terbebani ketika sekolah disini?" tanya Meetha dengan pelan, takut menyinggung perasaan temannya.
"Yah, memang lebih rumit daripada perkiraanku, tapi aku dan yang lainnya pasti bisa!" seru Claire dengan riang. Senyum mulai terpatri pada wajah cantik Meetha kala merasakan pancaran hangat muncul kembali pada sang matahari. Ia semakin mendekati Claire, sesekali membawa candaan untuk mencairkan suasana.
Aku ingin mempercayaimu, Meetha, pikir Claire.
"Aku juga ingin mempercayainya," pria itu bersuara setelah menancapkan ujung pedangnya ke tanah.
Taman belakang akademi yang sepi dan luas kini menjadi latar tempat Elia dan Asher berada saat ini. Atmosfer suasana di ruang pedang tampak mencengkam, membuat kedua murid itu merasa risih dan tidak nyaman.
"Apa kau kesulitan kalau bersama sekamar dengan dua bangsawan muda?" tanya Elia, ia sedang duduk di rerumputan sembari mengambil nafas teratur.
"Lumayan," jawab Asher perlahan.
"Mereka baik?"
"Baik, tapi kau tahu bukan? Bangsawan mudah memanipulasi orang lain, aku tidak ingin lengah." Terang Asher dengan perlahan.
"Iya, aku tahu. Kurasa aku pun juga begitu." Balas Elia sembari mengangguk pelan.
"Tapi, kurasa tak ada baiknya untuk menjauhi orang-orang yang memang bisa kita percayai," Elia bangkit berdiri lagi, kemudian merenggangkan otot-otot tangannya sebentar.
"Yah.. kau ada benarnya." Gumam Asher sambil menatap kearah bulan sabit di langit. Kedua tangannya berada di pinggang, ia menoleh pelan kala merasakan Elia mulai berjalan mendekatinya.
"Ayo kita berlatih lebih keras." Kata gadis itu sembari mengulurkan tangannya pada Asher.
<>
Klang. Suara dentuman pedang terdengar, pedang Elia lagi lagi terlempar karena serangan Asher.
"Harusnya kita berdua saja yang bertanding di ujian akhir pengambilan beasiswa itu!" seru Asher. Elia terkekeh pelan sembari mengusap peluhnya. Pandangannya tertuju pada suara detik jarum jam yang menunjukkan pukul tengah malam.
"Kita kembalikan ini ke ruang pedang dulu." Ucap Elia mengangkat salah satu bahunya dengan menunjukkan pedang yang ia pinjam. Lalu, ia mengambil buku tebal yang pernah ia pinjam dari perpustakaan.
"Ya,"
Mereka berjalan menuju kelas pedang, sangat sunyi. Sebuah suasana yang menggoda untuk berlatih kembali.
"Kau mau langsung kembali ke asrama pria?" tanya Elia.
"Ya, kamu?"
"Aku mau ke perpustakaan." Jawab Elia. Mereka saling melambaikan tangan dan berjalan ke arah yang berlawanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elia: The Daughter Of Sun
AdventureMenjadi yang tersingkir bukanlah sebuah pilihan. Demikianlah ketika sang gadis terjebak di dalam labirin kegelapan. Elia hidup di kalangan rakyat biasa, namun siapa sangka, kekuatan yang mengalir dalam dirinya berasal dari penguasa terkuat di dunia...