Siang harinya, seusai kelas pedang, para murid memasuki kelas umum sesuai umur. Disini, Asher berbeda kelas dengan Elia, meski begitu kelas keduanya berdekatan. Claire juga berada di kelas yang sama dengan Asher, gadis itu tampak melambaikan tangannya dengan mesra pada sahabatnya sebelum akhirnya memasuki kelas masing masing.
Sebelum ini, mereka semua telah mendapatkan seragam. Baju yang halus dan sejuk, kain bagian dalam adalah kemeja berwarna ungu muda lengan panjang, kemudian dilapisi oleh jaket yang cukup tebal berwarna ungu tua. Rok nya berwarna ungu tua yang sangat rapi dan cukup panjang.
Semua ciri khas dari sekolah berkualitas.
Elia sekelas dengan Meetha dan juga Ryan, ketiganya saling berkenalan pada pertemuan pertama ini dan berbincang bersama sebelum guru memasuki ruangan. Selang beberapa menit kemudian, guru memasuki ruangan dan membuka pelajaran.
Pelajaran sejarah.
"Ini adalah kisah mengenai perang kedua dunia," sang guru membuka pembelajaran dengan judul sebelum mulai bercerita di depan kelas.
"Pada jaman kemunculannya energi jahat dari iblis, pada saat yang sama itu lah seorang putri bangsawan dilahirkan, budak dengan darah cahaya namun diberkati di kuil kegelapan." Ujar sang guru. Seisi kelas sedikit terkejut, pasalnya anak dari campuran elemen kegelapan dan cahaya adalah tabu dan pasti akan dibunuh.
"Itu karena bayinya akan kesulitan untuk hidup, sehingga ayahnya saat itu rela memberikan sihir hitam pada putrinya sendiri." Lanjut gurunya. Elia menyimak dengan baik mengenai kisah sejarah yang cukup menarik baginya.
"Energi jahat ini tidak memiliki wujud pasti, oleh karena itu ia turun ke dunia ini dan menjadi parasit di tubuh seseorang lalu mengendalikan tubuh itu. Namun, ketika ayahnya dibunuh setelah dimasuki energi jahat, sang putri, Lian, tidak dapat dimasuki energi jahat. Oleh karena tubuhnya menolak keras elemen kegelapan yang sangat kuat dari energi jahat tersebut."
Gadis berambut pirang itu tersentak, seolah pernah mendengar atau bahkan melihat kejadian yang diceritakan sang guru. Matanya mengerjap perlahan, ia mencoba mengingat-ingat siapa yang pernah menceritakan sejarah ini padanya.
Sepertinya bunda tidak pernah cerita ini padaku, batinnya.
<>
"Elia, mau kembali ke asrama?" tanya Claire.
"Engga, aku mau latihan pedang dulu." Jawab Elia.
"Kalian mau kemana?" tanya ELia menatap Meetha dan Claire yang sedang bergandengan tangan.
"Aku mau melatih sihir medisku," jawab Claire. Dari nada dan wajahnya, Elia yakin ada hal yang telah terjadi pada Claire di kelas tadi pagi.
"Aku mau ke perpustakaan," jawab Meetha.
"Oke, sampai jumpa di asrama nanti." Elia melambaikan tangannya dan di balas oleh kedua temannya, ia berjalan menuju lapangan tempat ia berlatih tadi pagi. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat surai perak dan mata abu abu bersinar sedang berlatih di ruangan yang berbeda.
Ruangan itu beralaskan keramik yang menampakkan siluet dari cahaya dibalik jendela yang menembus ruangan, berbeda dengan tempat Elia yang merupakan lapangan tanah. Pemuda itu bermain dan mengayunkan pedang dengan ahli seolah tidak memiliki kesulitan saat menggenggamnya, tapi benda panjang yang dipegangnya tersebut mengeluarkan sedikit aura berwarna perak dan ungu tua.
Elia terbelalak, menatap kagum pada sosok visual yang tampak hebat dalam bermain pedang. Sadar telah diawasi oleh orang asing, pemuda itu melemparkan pedangnya pada wajah Elia. Gadis itu menghentikan pergerakan pedang yang melayang kepadanya dengan sihir. Rautnya terkejut dengan serangan tiba-tiba yang datang.
"Siapa?" pemuda itu mendekat dan mengelap peluhnya dengan handuk yang saat ini menggantung pada lehernya.
Elia menatap mata pria itu dengan pupil bergetar, auranya terasa tajam dan mencekik.
"Sepertinya bukan bangsawan ya," ujar pemuda itu.
"Apa? Siapa?" tanya Elia.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, rakyat jelata. Siapa kamu?" tanyanya balik.
"Saya Elia, dari kelas--"
"Ah, kau yang tadi menangis di tengah kelas pedang pemula." Tukasnya menyela.
"Kau benar-benar tidak kenal aku?" tanyanya sembari menunjuk diri sendiri. Elia hanya menggeleng pelan.
"Aneh." Ujarnya lagi kemudian menutup pintu dengan keras. Elia hanya melihat itu dengan kesal dan kemudian kembali berjalan menuju tempat latihannya.
"Asher?" Elia memanggil temannya yang sedang berlatih pedang terlebih dahulu.
"Oh, halo El!" serunya sembari melambaikan tangannya kearah Elia. Elia menghampiri pemuda itu setelah mengambil pedangnya lalu menatap pergerakan Asher dengan teliti. Selang kurang lebih satu jam kemudian, beberapa bangsawan muda memasuki ruang latihan dengan membawa pedang kayu di tangan mereka.
"Halo Asher!" seru mereka bersamaan dengan tawa.
"Hai!" jawab Asher mendongak dengan nafas terengah-engah. Namun, begitu sekumpulan orang itu melalui Elia, pemuda itu menatap Elia dengan tajam dan meremehkan.
"Tenang tenang, setahuku semua perempuan yang ada di kelas ini selalu diperlakukan begitu," bisik Asher pada Elia.
"Lukamu sudah sembuh?" tanya Elia.
"Tadi Claire melakukan sihir luar biasanya untuk mengobatiku," balasnya sembari mengacungkan ibu jari. Elia mengangguk perlahan dan kembali menebas potongan kayu di hadapannya, tidak bisa se-brutal Asher, namun gadis itu berusaha keras agar bisa fokus pada satu lawannya.
Gadis itu tiba-tiba terbayang pada sosok pemuda berambut perak yang ia lihat di ruang sebelah, membuatnya tidak fokus seketika. Kemudian, gadis itu berhenti setelah menyadari bahwa pikirannya tidak fokus. Ia menarik nafas pelan, lalu tangan dari pria bersurai merah itu menepuk pundaknya. Raut Asher sangat terengah-engah. Pemuda itu mengelap perlahan peluh di sekujur wajahnya.
"Fokus." Katanya tetap menatap pada kayu di hadapannya dengan dalam.
"Aku mau bertemu Claire dulu!" seru kemudian sembari tersenyum lebar seperti biasanya.
"Oke, sampaikan salamku padanya." Ujar Elia turut melambaikan tangannya.
"Oke!"
Sampai punggung pemuda bersurai merah itu pergi, Elia menatap lagi bongkahan kayu yang masih tak bisa ia tebas. Sekeras apapun dia berpikir, gadis itu tidak menemukan jawaban kenapa kayu dihadapannya sangat keras.
Pemuda bersurai perak bagaikan es, tapi dengan mata ungu tua yang berkilau dan cantik. Elia rasa, dia tidak pernah menemukan seorang pria dengan ciri khas seperti itu. Sekilas, surai pemuda itu mirip dengan Ryan, teman seangkatannya. Namun rambut pemuda itu sangat berkilau, dan Elia bisa merasakan aura mengintimidasi dan rasa waspada dari pria itu.
"Aneh," gumamnya.
Tiba-tiba, suatu ide terpikir oleh Elia, gadis itu sedikit membelah bagian kecil dari kayu, ia menyentuh ujungnya hingga jarinya berdarah, perempuan itu menyimpan benda itu ke dalam sakunya lalu pergi dari ruang latihan.
"Kau lihat dia? Yang menangis di tengah kelas?"
"Iya, sepertinya dia sudah menyerah berada di akademi ini."
"Tentu saja, dia kan rakyat jelata. Rakyat jelata selalu begitu."
"Padahal teman seangkatannya tadi sangat keren, tapi dia sangat ampas dan tidak berguna."
Ck, mereka hanya belum tahu tentang kekuatanku, batin Elia berdecih kesal dan keluar dari aula kelas pedang.
Aku hanya perlu memberikan sample ini pada Meetha atau Claire, lalu mengetahui titik lemah dari kayu itu,
-To Be Continue-
KAMU SEDANG MEMBACA
Elia: The Daughter Of Sun
AventuraMenjadi yang tersingkir bukanlah sebuah pilihan. Demikianlah ketika sang gadis terjebak di dalam labirin kegelapan. Elia hidup di kalangan rakyat biasa, namun siapa sangka, kekuatan yang mengalir dalam dirinya berasal dari penguasa terkuat di dunia...