Part 9 | Bangsawan

14 3 0
                                    

Elia menyiapkan posisi. Satu hal yang bisa dia ambil dari duel yang dialami Asher adalah, para bangsawan tidak peduli dengan nilai, mereka mengutamakan harga diri.

Pertandingan ini dimulai, mata pedang berwarna coklat itu kembali menghampiri leher Elia. Tak lagi mengulangi hal yang sama, Elia berlari mundur, menyiapkan pedangnya di depan dada. Ia berlari -nyaris secepat cahaya- beralih ke beberapa sisi yang berlainan di dekat lawannya. Gadis bersurai coklat itu kebingungan, ia menatap dengan waspada, begitu melihat pergerakan Elia, ia mengayunkan pedangnya hingga merusak permukaan tanah.

Permukaan tanahnya retak, Elia kembali mendarat. Kini giliran lawannya yang menyerangnya dengan bertubi-tubi, Elia menghindar, berlari dengan sangat cepat. Saat hendak berlari lagi, Elia lengah, ia kehilangan lawannya. Tanpa ia sadari, lawannya sudah berada di belakangnya. Menghantam dan menindih tubuh Elia dengan mudah, hingga mata pedangnya menancap di tanah, tepat berada di dekat mata Elia.

Terlihat ukiran seringai di wajah gadis itu. Dengan cepat ia melepas Elia dan berjalan menepi, membiarkan Elia yang masih kesulitan bangun disana.

"Kan sudah kubilang, dia tidak akan bisa," bisik para murid. Asher mendekat, ia membantu Elia berdiri dan kembali menepi bersama.

"Akan lebih baik jika kalian pergi ke tempat pengobatan dulu, sebentar lagi akan ada jam istirahat." Tukas seorang guru pria, ia cukup ramah, dan tak setegas guru Shi.

Elia mengangguk, kini giliran ia yang membawa Asher --yang jalannya kini tertatih-tatih-- untuk diobati. Keluar dari kelas, tanpa sengaja ia berpapasan dengan teman seangkatan mereka, Ryan.

"Eh, apa yang terjadi denganmu, Asher?" sontak pria itu turut membantu Asher untuk berjalan, benar benar pria yang peka. Elai sedikit melirik, seragam pria bersurai biru muda hingga putih itu cukup berantakan, beberapa bagian tubuhnya terkena goresan. Badannya melengkung seolah telah terkena pukulan atau kekerasan fisik lainnya.

"Hanya kalah duel," jawab Asher dengan kekehan kecil di akhir.

Ryan, elemen es, memasukki aula sihir elemen. Mereka berdua bukan teman sekamar, tapi sama seperti Elia dan Diva, kamar mereka cukup dekat.

"Kau tidak apa apa?" Elia sedikit bertanya kemudian menatap Ryan.

"Apa tidak apa apa kau masih disini?" tanya Elia. Ryan menoleh, mengangguk pelan pada teman seangkatannya.

"Jangan khawatir," tuturnya dengan pelan. Elia kembali bertanya, "kau dikucilkan?"

"Lebih tepatnya diusir." Terang Ryan dengan tawa kecil diakhir kata. Meski ia tertawa, sorot mata dan senyumnya menunjukkan hati yang sedih dan kecewa.

"Hidup disini, tidak semudah yang kukira. Apalagi sebagai rakyat biasa diantara bangsawan." Tukas Elia.

"Kau benar, bagaimanapun kita hanyalah bawahannya, yang tidak memiliki kekuasaan lebih." Timpal Ryan.

"Semangat kawan. Kita harus bahagia dan bersyukur bisa melangkah sampai sini." Timpal Asher tertawa pelan.

"Apa guru pengobatannya belum datang?" tanya Elia. Ryan menggeleng.

"Dia tidak akan datang. Meski dipanggil berapakalipun," jelas Ryan, Elia mengerti. Tidak ada bangsawan yang mau bekerja sukarela untuk rakyat jelata.

"Perlukah aku panggilkan anak medis?" tanya Elia, "aku tidak begitu paham tentang pengobatan," lanjutnya.

"Tidak usah, ini masih jam kelas mereka, lebih baik segera kita obati sebisa kita." Tolak Asher.

"Kemarilah, Ryan, aku akan mengobati sedikit lukamu," pinta Elia sembari mengambil kotak berisikan alat simpel untuk mengobati luka. Ia sedikit menutup luka dengan cairan penyembuh kemudian menutup luka itu.

"Aku tidak bisa meredakan luka bagian dalam, aku juga tidak tahu apa saja yang terjadi pada bagian dalam tubuh kalian, untuk sementara, beristirahatlah." Terang Elia diangguki oleh kedua temannya.

Elia keluar dari ruangan istirahat, berniat mengunjungi Claire dan Meetha. Ia melewati sekumpulan guru yang keluar dari ruang kelas sihir medis, seketika, ia tertegun sekilas.

"Bukankah anak jelata yang kesini dengan beasiswa itu cukup hebat?" tanya seorang guru.

"Benar, padahal saya dengar, anak seumuran dia dari sekolah yang sama ketika disini hanyalah sebatas seonggok sampah tidak berguna. Tapi sepertinya anak bernama Claire itu cukup berbakat dalam bidang akademik." Balas seorang guru lagi.

"Kita bisa mempergunakannya sebagai alat kita untuk naik pangkat, bukan begitu?"

Elia melirik sekials, kemudian ia dikejutkan oleh Claire yang sudah berlari untuk menghampirinya.

"Elia," panggil Claire.

"Ada apa dengan seragammu?" tanyanya lagi.

"Ah, tidak. Aku hanya kalah duel," terang Elia.

"Dimana Asher?" tanya Claire lagi. Elia tersenyum tipis, sedikit menarik tubuh Claire, "Ayo, dia ada di ruang istirahat,"

Claire mengikuti langkah Elia, mereka berjalan menuju ruang istirahat. Namun selama perjalanan, ada hal lain yang menganggu pikiran Elia.

"anak bernama Claire itu cukup berbakat dalam bidang akademik,"

"Akademikmu sangat jelek."

Gadis itu tersentak pelan, apa yang baru saja kupikirkan? Iri pada sahabatku sendiri, itu tidak baik.

Cklek. Pintu ruangan dibuka, menampakkan dua pemuda yang sedang beristirahat diatas ranjang. Kali ini mereka tidak sendiri, seorang guru ada disana namun hanya merawat tiga anak bangsawan yang juga sedang beristirahat. Tanpa menoleh pada Elia dan Claire, guru itu merawat dan meneliti penyakit dari tiga anak bangsawan itu dengan baik.

Berbeda, batin Elia.

Claire menatap kearah pakaian guru itu, setelan putih yang cantik, dengan kain yang bagus dan beberapa pernak pernik mahal yang ia kenakan. Jelas sekali guru itu adalah bangsawan kelas atas.

"Kalian baik baik saja?" bisik Claire kepada dua temannya. Asher tersenyum lebar sedangkan Ryan hanya mengangguk kecil. Claire menggunakan kekuatannya, ia meletakkan kedua tangannya di atas badan Asher hingga sinar hijau muda muncul pada telapaknya. Ia mengecek seluruh tubuh Asher dan mengobati beberapa sayatan disana.

"Sudah lebih baik? Tidak ada yang serius, tapi mungkin bagian lehermu akan sedikit memar saja." Terang Claire.

"Tapi sepertinya tadi dia agak lemas, apa yang terjadi?"

"Kemungkinan karena rasa syok yang dialami saat menerima serangan dari musuh. Dan kurasa, kau kurang istirahat Asher, jadi saat syok kepalamu menjadi pusing dan badanmu lemas dengan sendirinya. Apa aku benar?" Claire enatap Asher dengan dalam. 

"Iya... aku memang agak banyak berlatih, tapi ini bukan apa apa kok." Balas Asher. Claire eberpikir sebentar dengan wajah khawatir, ia tidak bisa berkata-kata lagi, ini adalah lingkungan yang berbeda, lingkungan yang keras. Mau tidak mau, semua bekerja sangat keras untuk berhasil.

"Semangat, teman teman. Lebih baik kita juga segera istirahat." Ucap Elia.

Elia berbalik dan keluar dari ruangan, tanpa sengaja, ia berpapasan dengan gadis bangsawan yang tadi mengalahkannya. Gadis itu berjalan dengan seorang temannya yang terlihat memiliki wibawa dan ciri khas seorang bangsawan kelas atas.

"Bukankah si rambut pirang itu menarik perhatianmu? Aku berhasil mengalahkannya, hahahah. Padahal tatapannya tadi seolah dia percaya akan menang," ledek gadis itu, membuat Elia tersentak seketika. Ia merasa tatapan yang tajam dan mencekam menatapnya dengan rasa tidak suka.

- To Be Continue -

Elia: The Daughter Of SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang