Part 10 | Ambisi

15 2 0
                                    

Sialan, umpat Elia dalam hati, ia berjalan ke toilet wanita dan mengganti seragamnya untuk pelajaran akademik setelah jam istirahat.

"Elia," seseorang memanggil namanya, gadis pirang itu menoleh. Ia menangkap sosok teman sekamarnya, berambut biru tua panjang yang cantik dan mengenakan anting-anting emas yang melingkar dan simpel.

"Kau dari mana? Dimana Claire?" tanya Meetha.

"Claire sedang bersama Ryan dan Asher, mereka teman kami, mereka cedera." Jelas Elia.

"Claire sendiri yang mengobatinya? Apa perlu kusuruh guru medis?" tawar Meetha.

"Tidak perlu, kurasa tidak separah itu." Tolak Elia.

"Kalau begitu, ayo kita jemput mereka." Ujar Meetha dan diangguki oleh Elia.

<>

Elia mengakhiri pembelajaran di kelas. Hari sudah menjelang malam, ia segera mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru lalu beralih ke suatu tempat. Elia berjalan menuju taman belakang akademi, disana ada kolam air yang sangat jernih dan indah, di sekelilingnya dipenuhi oleh tanaman dan bunga-bunga.

Ia mengambil beberapa buku pelajaran dan mulai mempelajarinya di taman. Ia mencatat, membaca, dan menandai bagian-bagian penting. Sunyi, tidak ada yang terlihat di taman itu kecuali sang gadis. Gadis itu memijat kepalanya perlahan sembari sesekali mengistirahatkan diri dengan melihat langit malam.

"Apa yang dia lakukan disana?"

"Siapa itu?" instingnya menangkap hadirnya orang lain di taman. Elia menoleh, masih sibuk mencari diantara banyaknya objek di tanam.

"Ini aku, aku Carin, kau tahu? Teman sekamar Diva." Jawab Carin keluar dari tempat persembunyiannya lalu menghampiri Elia. Elia bangkit berdiri, ia hendak mengambil kembali buku bukunya di lantai.

"Eh?! Apa aku menganggumu? Aku tidak bermaksud," ujar Carin dengan panik.

"Tidak.. aku hanya mau pindah tempat. Sepertinya kamu.. mau melukis?" tanya Elia dengan senyum yang terukir di wajah visualnya.

"Aah iya," gadis berambut merah muda itu tampak agak tergesa-gesa dan bingung.

"Aku agak malu mengakuinya, jarang sekali ada orang yang suka melukis," ujar Carin. Gadis bersurai merah muda itu menata kanvas dan penyangga kayu yang hendak ia gunakan dan mengeluarkan cat serta kuas. Matanya yang cantik kemudian menatap langit langit malam.

"Pemandangan malam ini sangat indah." Gumamnya. Ia mulai berkeasi, tangannya mulai bergerak dengan ringan diatas kanvas, dan tak jauh dari sana, Elia mulai kembali membaca buku-bukunya.

Tak butuh waktu lama, Carin bangkit berdiri dan membawa kembali canvas lukisannya yang telah kering bersama dengan peralatannya,

"Sudah selesai?" tanya Elia melirik sekilas. Carin mengangguk dan pamit sebelum akhirnya pergi dari taman, visual gadis itu benar-benar telah menghilang dari pandangan Elia.

Beberapa menit kemudian, gadis itu turut bangkit, membawa kembali buku bukunya ke kamar dan keluar dengan perlahan, ia menuju aula pedang. Dirinya menutup pintu dengan perlahan, sengaja tidak menutup rapat agar tak ada yang mengunci pintu tiba-tiba dari luar. Ia mengambil sebuah pedang, mulai berlatih untuk menebas ratusan kali, sebagai pemanasannya.

Begitu banyak peluh ia dapatkan, gadis itu meregangkan kembali otot-ototnya, lalu memulai ritual yang selama ini ia tunggu, 'pengaturan mana'. Sebuah permulaan rencana agar ia bisa segera masuk kelas tahap 2.

Anehnya, malam ini gadis itu sama sekali tidak melihat Asher di ruang latihan --padahal biasanya pria itu senang sekali mengajak Elia duel untuk latihan semata--. 

Elia: The Daughter Of SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang