Tiga Puluh Tujuh

801 117 17
                                    

2021












































Sunghoon mengendap diam-diam berjalan mendekati sang Ibu yang sedang terlelap di atas sofa.

Mama Sunghoon memang selalu tidur di atas sofa, di ruang keluarga dengan selimut tebal yang menyelimutinya.

Sebenarnya Mama Sunghoon memilki kamar utama, tapi sejak kecil, Sunghoon tahu Mamanya itu tak pernah mau tidur di kamar utama.

Kamar utama hanya digunakan untuk menyimpan pakaian, aksesoris, dan tak lebih.

Sunghoon mengambil ponsel Mamanya diam-diam, mencoba mencari tahu informasi sebanyak mungkin yang bisa ia peroleh dari ponsel sang Ibu.

Sunghoon berharap mendapatkan informasi yang berbanding terbalik dengan yang ia takutkan sekarang.

Namun, kecewanya semakin dalam. Ia meletakkan ponsel kembali di atas meja ruang keluarga.

Sunghoon menatap wajah terlelap sang ibu yang terlihat tidak tenang. Sesekali wanita itu mengigau dalam tidurnya.

Air mata mengalir dari sudut mata sang Ibu. Entah mimpi apa, tapi sepertinya mimpi itu sangat menyedihkan.

Sunghoon akhirnya mengerti, mengapa sang Mama selalu mengigau dan menangis saat tidur.

Akhirnya Sunghoon tahu mengapa sang Mama tak bisa lepas dari obat-obat penenang.

Mama menyimpan rahasia besar yang benar-benar ia sesali dan ia takutkan. Rahasia yang menghantuinya sepanjang hidup. Dosa besar yang tak akan pernah bisa dilupakan dan menorehkan luka teramat perih pada hatinya dan orang-orang yang akan kecewa padanya setelah tahu dosa yang dilakukannya.





















“Sunghoon, ini Mama masakin tauco cumi kesukaan kamu. Mama juga buat toast yang kamu suka. Sama kepiting yang kata kamu kesukaan crush kamu. Dimakan ya, Sayang...” ucap sang Mama yang tersenyum tulus.

Ibu Sunghoon dan Younghoon itu memang suka sekali memasak sarapan yang cukup bermacam-macam untuk anak-anaknya.

Mata Sunghoon terlihat sembab. Cowok itu menangis semalaman mengetahui semua hal yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh sang Mama.

Sunghoon ingin marah, tapi ia tidak sanggup memarahi orang yang telah mengandung dan melahirkannya.

Perbuatan sang Ibu memang sangat salah. Benar-benar salah.

Namun, itu bukan berarti Sunghoon harus berlaku jahat pada sang Ibu.

Meskipun ibunya berbuat dosa besar, tapi itu bukan berarti ia harus menghakimi sang Ibu. Biarlah Tuhan yang menghakimi sang Ibu di akhirat nanti.

Ibunya juga tidak menyuruh dan meminta ia melakukan dosa. Sepanjang orangtua tidak meminta sang anak melakukan hal yang melenceng dari agama, tentu saja sang anak harus patuh. Kecuali sang anak diminta berbuat jahat seperti salah satu dari banyak perbuatan jahat, contohnya mencuri, maka sang anak boleh menolak untuk patuh.

Mama duduk di depan Sunghoon dengan meja yang menghalangi mereka.

“Mata kamu kenapa, Dek?” tanya sang Mama heran melihat mata Sunghoon yang bengkak.

“Gak tahu ini, Ma,” balas Sunghoon sekenanya seraya mengambil toast hangat di atas meja.

Mama segera berdiri dan mengambil sendok stainless steel untuk mengompres mata sang anak.

Saat ia hendak mengompres, tangan Sunghoon menepis pelan tangan sang Ibu.

“Udah, Ma. Gak apa-apa. Sunghoon bisa pake kacamata,” kata Sunghoon. Ia menolak bantuan sang Ibu.

“Serius?” ada nada khawatir yang Sunghoon dengar dari sang Ibu.

Sunghoon mengangguk.

Mama pun kembali duduk.

Mereka makan dalam diam. Sesekali Sunghoon melirik ke arah pergelangan tangan kanan sang Mama yang memiliki banyak bekas gurat-guratan pisau. Ya, Mamanya hampir selalu ingin mengakhiri hidupnya.

Belum lagi ruas-ruas jari tangan sang Mama yang penuh luka karena sering memukuli dinding atau benda keras lainnya saat pikirannya mulai tak baik-baik saja.

“Jangan lupa doa sebelum ujian,” kata sang Ibu merapikan rambut Sunghoon tatkala sang anak sedang memakai sepatu sekolah.

“Iya, Ma. Adek pergi dulu, ya,” Sunghoon menyalim tangan sang Ibu.

Sunghoon pamit.

Sang Ibu menatap kepergian Sunghoon ke sekolah. Setiap hari ia melihat anak-anaknya. Setiap hari pula ia merasa bersalah. Ia menganggap dirinya sebagai pendosa. Sang pendosa yang kini membuat seorang lelaki yang begitu mencintainya meninggalkan keluarganya.

Ia benar-benar tak pantas menghirup udara segar sekarang.

Mama Sunghoon masuk ke dalam rumah.

Wanita berumur empat puluh tahunan itu mengusap pelan luka jahitan di lehernya.

Salah satu luka dari sekian banyak luka yang ditorehkan almarhum suaminya yang keras, tak menyukainya, dan hobi mabuk-mabukan.

Perjodohan yang terjadi padanya, perjodohan yang terjadi pada Papa kandung kedua anaknya, adalah awal mula semua ini.

Masa lalu memang tidak bersalah.

Mereka lah yang bersalah karena telah membuat masa lalu menjadi kelam dan menciptakan banyak luka di kemudian hari.

Harusnya ia harus bertahan. Bertahan disakiti oleh suaminya. Tidak mengadu pada mantan kekasihnya yang juga sudah menikah dengan orang lain.

Kenapa ia tak mati saja saat suami pertamanya menyiksanya?

Kenapa ia harus menjalin hubungan kembali dengan mantan kekasihnya yang sudah beristri?

Kenapa ia berbuat dosa?


















“Eh, pake kacamata, Lo?” Jihoon menepuk pundak Sunghoon.

“Janjian sama Wonyoung juga?” lanjut Jihoon lagi karena ia lihat Wonyoung juga memakai kacamata.

Wonyoung memakai kacamata karena ia menangis lagi tadi malam. Keluarganya memang mengajak makan bersama di restoran kemarin sore, tapi itu hanya membuat ia semakin sedih. Lantas, ia menangis. Menangisi dirinya, menangisi Papanya yang tega, dan menangisi sang Mama yang menangis hampir setiap hari.

Wonyoung melirik Sunghoon yang juga mengenakan kacamata.

“Won, mata Lo bengkak? Napa Lo?” tanya Jake yang duduk di sebelah Wonyoung. Cowok itu ingin membahas masalah turunan dan diferensial sebelum mereka ujian Matematika nanti pada Wonyoung. Ujian terakhir sebelum memasuki masa tenang. Sebelum pembagian raport.

“Lo sama Sunghoon kok kompak gini?” tanya Jihoon setelah melihat mata Sunghoon ternyata bengkak juga.

Wonyoung berdecak. “Apa sih? Ini dipipisin kecoa,” balas Wonyoung asal dan kesal.

Sunghoon meletakkan tasnya di atas kursi.

Ia tak sanggup melihat Wonyoung.

Rasanya ia ingin berteriak pada dunia kenapa ia mengalami hal ini. Kenapa situasinya sangat sulit.













“Wonyoung,” panggil Sunghoon.

Wonyoung menoleh. Sekolah sudah bubar, menyisakan murid-murid yang masih betah menghabiskan waktu di sekolah untuk beraktivitas di ekskul masing-masing.

Wonyoung baru saja keluar dari toilet. Gadis itu terlonjak kaget mendapati Sunghoon berdiri di luar toilet dan menatapnya datar di balik kacamatanya.

“Astaga, Lo ngagetin tau, gak?” Wonyoung menepuk dadanya. Gadis itu langsung bergerak menuju ruang ekskul cheerleaders, tapi segera dipeluk Sunghoon dari belakang.

Erat.

“Gue mau Lo.”











1. J ✓ SUGAR, PLEASE! [ Sunghoon - Wonyoung ] ™ - (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang