Eat.
•—•
Hirup udara itu penuh dengan aroma masakan yang kental. Denting pintu masuk tanda manusia lain berdatangan beberapa kali terdengar dari telinga mereka yang tiba lebih dulu sebagai pengunjung. Menduduki meja yang berada di ujung ruangan—dengan maksud meraih jangkauan yang lebih tenang.
Dua figur saling berhadapan, dengan yang satu tengah memijat pelipisnya lelah.
"Namjoon. That's too much."
Manik tegas milik si pemilik nama terangkat. Kini menemui sepasang jelaga yang sama konstan menatapnya; Imanuel Seokjin Edra—sahabat karibnya. Manusia yang mengenal Namjoon sejak putih abu-abu dan melanjutkan major dengan gedung yang sama dengannya hingga sekarang, bersua dengan nada sedikit kesal.
"Kalo lo pengen ambil hati dia pake cara kayak gitu, jelas salah. Lo, kalian ada di jalan yang beda. Makanya nggak pernah ketemu ujungnya bareng-bareng," tutur Seokjin gamblang.
Pemuda itu mengetahui segalanya; ia layaknya penampungan akhir yang selalu Namjoon pilih. Beberapa kali, Seokjin yang bahkan tak miliki hubungan apapun tentang apa yang terjadi dalam keluarga Swarna itu turut meledak emosinya jika Namjoon datang dan menceritakan.
Tentang seberapa rusak keluarga Swarna sesungguhnya.
Tak terkecuali saat Namjoon salah langkah; Seokjin tak akan segan menyadarkan Namjoon dengan caranya. Entah dengan mulut pedasnya, sindirannya, atau yang paling parah pukulan tangannya.
"Gue capek, terus ya bisanya banting stir buat ambil perhatian dia. Gue nggak tau harus apa lagi. I'm trying." Namjoon berujar selagi meluruskan punggung di kursi single tempat duduknya.
"Dakhta, omong kosong lo banyak banget. Lo tau apa yang seharusnya lo lakuin, cuma lonya aja nggak berani. Am i right?"
Terkekeh sumbang, Namjoon mengaduk gelas minumannya kehilangan selera, "Anjing. Terus kalo iya gimana? Nggak ada jalan lain gue bilang."
"Keras kepala Kakek lo, Bokap lo, turun ke elo. Well, turun juga ke adek lo cuma di posisi yang beda," ucap Seokjin dengan jemari yang luwes memotong beef dan melahapnya cuma-cuma.
Namjoon tertawa ringan, tak lagi menatap tajam Seokjin seiring suasana yang mencair dengan sendirinya, "Itu faktanya."
"Bagus kalo lo sadar. Pokoknya ya—jangan lama-lama jadi pengecut, Joon. Ambisi jangan terlalu digedein, lo yang capek sendiri. Bahkan dari beberapa tahun lalu aja lo udah capek, kan?"
"Lo. Kenapa nggak capek-capek temenan sama gue?" Namjoon mengalihkan topik mereka. Pertanyaan yang entah berapa puluh kali pemuda itu lontarkan sejak tujuh atau delapan tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMBILU
FanfictionHubungan keduanya memang terjadi secara diam-diam. Entah tentang rasa ingin menjaga hubungan atau rasa enggan tuk lakukan pengakuan. Keduanya saling mencinta; benarkah? Namun mengapa semakin lama, ada seseorang yang terus menahan sembilu luka di hat...