"Lo ngapain sih?"
Laki-laki yang ditanya hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian kembali melanjutkan aktivitas semula. Mencoret-coret kertas dengan wajah dan tubuh yang lesu. Temannya yang melihat hal itu sejak lima belas menit lalu pun mendengus kesal. Pasalnya, sejak kedatangannya ke sini, ia tidak disambut dengan perasaan yang membuat dirinya puas. Malah ia mendapati seorang laki-laki sedang memainkan pulpen dengan pandangan kosong menatap langit-langit kamar, sebelum memutuskan untuk menyibukkan diri dengan kertas - kertas di hadapannya.
"Galau lo?"
Tidak ingin menyerah, ia kembali bertanya sampai menemukan jawaban apa yang membuat temannya tampak tidak bersemangat di hari Sabtu sore ini. "Sasa ngilang? Mereka emang lagi sibuk hari ini," tambahnya.
"Bukan Sasa." Akhirnya sebuah suara keluar dari mulut Gandhi, laki-laki galau yang diwawancarai temannya, Kalandra. "Gue juga udah beberapa hari ini nggak chat intense sama dia." Gandhi menghembuskan napasnnya, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk.
"Terus? Ayra?"
Tidak menunggu waktu lama untuk Gandhi menganggukkan kepalanya. Hal ini cukup membuat Kalandra terkejut, namun seolah juga menjadi jawaban mengapa Ayra tampak menjaga jarak darinya sejak semalam. Bahkan tadi sebelum Kalandra pergi, Ayra yang biasanya menitip sesuatu, entah makanan atau barang ketika dirinya akan keluar rumah, pagi ini tidak mengatakan apa-apa. Ditanya pun hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Sepertinya tanpa Gandhi menjelaskan lebih lanjut, Kalandra sudah mengetahui apa yang terjadi di antara keduanya. Sebenarnya ada beberapa asumsi di kepalanya, tapi mari kita coba pastikan satu-satu.
"Lo kemarin ungkapin perasaan lo ke Ayra?"
"Iya."
Kalandra terkejut, "Serius?"
"Gue juga minta dia buat jadi cewek gue. Sorry, Kal"
"Kenapa?" Gandhi yang sejak tadi menunduk pun mengangkat wajahnya, menatap Kalandra bingung, "Kenapa baru sekarang lo berani nyatain? Kenapa waktu lo dan Sasa udah cukup deket?"
"Gue rasa, gue belom sedeket itu,"
Kalandra tersenyum miring, "Belom sedeket itu, tapi udah ajak dia ke rumah dan ketemu Bunda?" Sejujurnya Kalandra juga tidak mengerti jalan pikiran Gandhi seperti apa. Laki-laki itu kerap kali merasa berada di posisi yang sulit, padahal dirinya sendirilah yang memang membuat semuanya menjadi sulit. Andai saja Gandhi lebih berani untuk bertindak dan tidak mengambil kedua jalan, mungkin saja sekarang ia sudah bisa mengerjakan project baru ini dengan tidak banyak revisi.
"Bunda yang minta"
"Lo bisa kasih alibi, dan juga kenapa lo ajak Sasa?"
"Kal lo tuh nggak ngerti!" Gandhi sedikit menaikkan nadanya ketika ia merasa tersudut dengan kalimat-kalimat yang temannya lontarkan.
"Ya jelasin lah, biar gue ngerti."
* * *
Kalandra menatap perempuan di sebelahnya yang beberapa kali merapihkan pakaian yang malam ini dikenakannya. Tidak lupa juga bertanya apakah penampilannya malam itu berlebihan untuk datang ke rumah dan menikmati pesta kecil-kecilan. Kalandra yang melihat itu hanya tersenyum geli. Sejujurnya, Kalandra ingin sekali mengusap rambut Karina sambil mengatakan bahwa dirinya malam hari itu sudah sangat cantik. Namun, tadi sebelum tangan miliknya benar-benar mendarat di atas kepala, Karina terlebih dulu melarang dengan alasan takut rambutnya menjadi berantakan. Alhasil, laki-laki itu memilih untuk menggenggam tangan kanan milik Karina yang menganggur.
"Udah sih, udah cantik dibilang," ujar Kalandra kembali menenangkan.
"Bukan ituu,"
Kalandra menatap Karina bingung, lantas apa yang kini membuat perempuan itu masih ragu untuk masuk ke dalam rumahnya. "Terus kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
With Me, Please?
Teen FictionPetualangan ini masih panjang. Istirahatlah jika lelah, tapi tolong jangan menyerah. Mari bertahan sampai akhir. -K Aku tidak siap, atau mungkin tidak pernah siap untuk merubah pelangiku menjadi monokrom. -K