Kalandra's Point of View.
Terhitung sudah hampir 2 minggu setelah Karina datang ke acara ulang tahun Mama, gue belum bertemu lagi dengan perempuan itu. Kabarnya sih, dia sedang disibukkan dengan beberapa tugas kuliah yang mulai meminta mahasiswa untuk turun lapangan. Jadi, terkadang memang tidak stay di kontrakan atau mendatangi kampus. Sejujurnya gue rindu dengan perempuan berambut hitam ikal dan bermata sipit itu. Perempuan yang sudah gue kenal mungkin lebih dari 3 bulan belakangan ini.
Biasanya kalau ada waktu luang gue akan mengajak si dia pergi ke tempat-tempat yang memang ingin dikunjungi. Tentu dengan begitu gue bisa mengetahui hal atau kegiatan apa saja yang disukainya, bukan? Sejauh ini gue sudah tahu kalau Karina cukup tertarik dan menyukai hal-hal berbau teater dan archery. Pernah sekali ia menonton teater dengan Riani, tapi kemarin berhubung Riani belum ada waktu, akhirnya gue mencoba menawarkan diri untuk menemani. Gue tidak menyesal, karena ternyata menyenangkan juga. Kalau archery sih, memang dasarnya gue dulu cukup sering main bersama keluarga di akhir bulan. Jadi, gue merasa tidak asing.
Tiba-tiba gue teringat kala keimpulsifan gue dalam mengambil keputusan untuk menghampiri dia saat di J.Co. Karina yang tampak fokus dengan ponselnya di tangan kiri scrolling entah apa, gue tidak tahu dan ice chocolate berada di tangan kanannya. Wah, bahkan gue masih mengingat dengan benar posisi perempuan tersebut kala itu. Ya, menurut gue sih seperti itu. Entah bagaimana menurut Karina sebagai pelakonnya. Gue benar-benar tidak mengira akan bertemu lagi dengan Karina setelah bercerita dengan Gandhi waktu itu. Karena diibaratkan 1:1000 kemungkinan untuk bertemu lagi, atau mungkin memang sudah takdir kehidupan? Gue tertawa mengingatnya.
Saat itu gue sedang dibuat gelisah dengan seseorang yang berada jauh dari jangkauan gue. Perempuan yang pernah mengisi hati gue selama kurang lebih 3 tahun. Namun, karena dia yang tiba-tiba pergi tanpa pamit dan menghilang tidak ada kabar membuat gue merasa bahwa mungkin memang sudah seharusnya gue menyadari bahwa hubungan kami saat itu tidak untuk lebih dari sekedar teman. Gue pun cukup tahu diri karena perempuan itu tidak ada kejelasan apakah dirinya akan kembali ke Indonesia atau tidak. Bahkan tidak pernah ada pembahasan tentang hal itu sebelumnya. Gue merasa bahwa dia memandang diri gue dan Gandhi dalam porsi yang sama.
Maka begitu dia terlihat seperti menjaga jarak dan hilang kabar, bahkan ketika statusnya online dan beberapa kali upload keseharian di sana, gue mulai menyudahi untuk menghubungi dia. Ditambah kehadiran Karina membuat gue sedikit demi sedikit melupakan eksistensi Citra di hidup gue. Walaupun sebenarnya tidak benar-benar bisa lupa, karena terkadang gue masih sering memikirkan bagaimana kehidupan dia di sana. Seperti beberapa hari terakhir ini.
Melupakan seseorang yang pernah singgah di hati selama kurang lebih 4 tahun tentu bukan hal yang mudah. Benar kan? Akan banyak proses yang dilalui, atau mungkin akan ada perasaan yang tersakiti. Tetapi yang harus gue lakukan sekarang adalah menegaskan perasaan gue kepada Karina. Apakah hanya sebatas rasa sunyi yang terobati? Atau justru benar perasaan cinta yang akhirnya kini mulai bersemi?
Waktu gue menjemput Karina yang tengah rapat untuk acara fakultas, malam itu gue melihat dia sedang bercengkrama dengan laki-laki yang katanya adalah asisten dosen di salah satu mata kuliah. Obrolan mereka juga masih sekitar tugas kelas. Namun, dari cara laki-laki itu memandang Karina, jelas gue tau dan cukup mengerti arti tatapan yang diberikan. Ditambah teman-teman Karina juga sempat mengatakan bahwa asisten dosen tersebut tampak sangat berusaha untuk melakukan interaksi dengan Karina.
Gue tentu merasa kesal ketika melihat dan mengetahui itu, tapi mengingat bahwa tidak ada hubungan lebih dari sekedar teman di antara gue dan Karina, membuat diri gue pun cukup tahu diri dan tahu batasan tentang hal-hal yang memang seharusnya gue lakukan. Bagi gue waktu yang sudah kami habiskan selama kurang lebih tiga bulan bersama-sama ini tampaknya masih sebentar. Tetapi menurut Ayra itu sudah cukup, karena sudah seharusnya memperjelas hubungan tersebut. Apakah memang hanya sebatas teman main dan teman makan, atau akan lebih dari sekedar itu?
Karena sejujurnya, gue beberapa kali melihat ada kemiripan antara Citra dan Karina, mulai dari rasa minuman favorit, yang gue ketahui keduanya sama-sama menyukai matcha, sampai film atau series tontonan mereka yang ternyata juga sama. Sampai-sampai hal ini kadang membuat gue salah fokus, yang mungkin jika gue biarkan akan bisa menjadi boomerang. Memikirkan skenario apa yang akan terjadi saja sudah membuat gue bergidik ngeri, alias gue tidak ingin dan sepertinya tidak perlu untuk dibayangkan. Berulang kali gue berkata pada diri gue sendiri untuk hanya fokus kepada apa yang saat ini ada di depan mata. Cukup fokus pada eksistensi seseorang yang hadir sekarang, bukan pada seseorang di masa lalu yang mungkin secara perlahan kehadirannya akan dilupakan.
Mungkin benar kata mereka bahwa perempuan itu butuh kepastian, dan hal tersebut tampaknya menjadi salah satu alasan mengapa Ayra tampak kerap kali menanyakan kira-kira sudah sampai mana progress gue dan Karina ketika dirinya mengetahui bahwa gue baru saja bertemu Karina hari itu.
Sore ini, gue akhirnya akan bertemu lagi dengan Karina. Dia bilang kalau Riani ingin makan di sini setelah pulang dari rumah narasumber untuk tugas kelompok mereka. Sekalian bertemu dan mengobrol langsung karena sudah dua minggu ini kami hanya berbincang lewat telfon atau chating biasa. Gue tidak tahu apakah Sasa akan ikut bergabung, karena yang gue tahu kelompok Karina hanya ada dirinya, Riani dan Pita. Sebenarnya ada Sasa pun tidak masalah, namun sepertinya Gandhi yang bermasalah di sini. Gue tidak akan membahas ini lebih lanjut. Biar aja dia selesaiin masalahnya sendiri karena gue juga udah cukup pusing sama masalah hati gue sendiri.
Oh, omong-omong tentang restoran gue, terhitung akan memasuki tahun ketiga restoran gue dibangun. Dulu gue iseng meminta dibuatkan gambar oleh Gandhi yang memang berkuliah di jurusan arsitektur. Sembari menunggu dia yang menyelesaikan sketsanya, gue juga melakukan riset untuk mencari lokasi yang sekiranya cocok untuk usaha gue ini. Pada dasarnya gue memang senang berbisnis dan setidaknya jurusan kuliah dengan pekerjaan gue saat ini tidak beda jauh. Papa juga entrepreneur, dulu Mama juga giat banget sama bisnisnya, tapi sekarang udah nggak terlalu fokus ke sana. Mau istirahat katanya.
Impian gue untuk memulai usaha ini dulu gue sempat ceritakan ke Citra, perempuan itu juga sedikit-sedikit membantu yang ia bisa. Mempromosikan atau sekedar memberi pendapat dari sudut pandangnya saja menurut gue sudah cukup membantu. Citra dan Gandhi adalah salah dua orang yang sedikit banyak mengetahui hal-hal sulit yang gue lalui. Ketika gue merasa cukup pusing dan butuh advice dari orang lain, maka gue akan bertanya kepada mereka. Sebagai seorang entrepreneur Papa juga memberikan saran-saran do's or don'ts untuk pemula seperti gue ini. Gue sangat berterima kasih dan bersyukur dengan kehadiran mereka.
Gue jadi teringat kata-kata yang gue sampaikan kepada Gandhi kala itu. Ketika gue meminta dirinya untuk tidak main-main dengan dua orang perempuan, terlebih salah satu dari mereka adalah adik gue sendiri. Walaupun dari sudut pandang gue bisa melihat bahwa Ayra masih belum bisa melupakan masa lalu dia. Gue memahami bahwa apa yang dialami adik gue bukan persoalan yang mudah. Ditinggalkan teman dekat untuk selamanya, yang bahkan gue tahu kalau adik gue itu memiliki perasaan lebih dari sekedar teman, pasti membuat dia sedih dan ada perasaan menyesal karena belum sempat untuk mengungkapkan perasaannya. Lalu setelah beberapa waktu dan ketika sudah mulai membuka kembali hatinya untuk orang lain, ternyata laki-laki itu malah menjadikan Ayra selingkuhannya. Ayra awalnya tidak tahu menahu tentang hal itu. Gue sebagai kakaknya tentu marah dan sudah berniat untuk meninju bajingan yang sudah membuat adik gue sakit hati. Tapi berhubung Ayra yang menangis-nangis dan memohon untuk tidak perlu memperpanjang masalah, gue membiarkan laki-laki itu pergi.
Gue tidak heran kalau seandainya sampai saat ini dia masih menggantungkan Gandhi yang jelas-jelas sudah sering memberikan sinyal tentang perasaannya, walaupun sepertinya akhir-akhir ini fokus pembicaraan teman gue itu sudah berubah. Iya, terkadang tanpa sadar yang ditanyakan bukan lagi Ayra, melainkan Sasa, salah satu teman Karina. Yah, semoga dia buru-buru menyadari perasaannya saat ini. Supaya tidak menyesal seperti yang gue rasakan beberapa saat lalu.
* * *
With Love,
Ika.
KAMU SEDANG MEMBACA
With Me, Please?
Teen FictionPetualangan ini masih panjang. Istirahatlah jika lelah, tapi tolong jangan menyerah. Mari bertahan sampai akhir. -K Aku tidak siap, atau mungkin tidak pernah siap untuk merubah pelangiku menjadi monokrom. -K