Sudah hampir satu jam, Seroja masih berkutat dengan pensil dan kertas di hadapan Bu Friska, guru piket yang tadi memanggilnya. Saat ini Seroja hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah dari Bu Friska yang menyuruh dirinya untuk menulis sebuah kalimat sebanyak seratus kali. Namun, Seroja hanya mampu menyelesaikannya sampai di urutan ke tujuh puluh.
"Bu, udah ya tangan saya pegel banget ini, tapi tulisannya baru sampai tujuh puluh kalimat, boleh ya?" tanya Seroja dengan wajah memelas.
"Tidak, harus sampai seratus! Cuma tinggal tiga puluh kalimat masa kamu tidak bisa, jangan setengah-setengah kalau mengerjakan sesuatu nanti dapat suaminya yang brewokan." Ujar Bu Friska dengan nada bercanda.
Mendengar perkataan Bu Friska, Seroja yang tadinya sudah tidak bertenaga untuk menulis langsung mengerjakan tugasnya kembali dengan cepat, walaupun sebenarnya ia sudah sangat lelah. Ia hanya takut ucapan Bu Friska menjadi kenyataan, ia tidak ingin mendapatkan calon suami yang bertampang brewokan seperti om-om. Amit-amit, pikirnya.
***
Sudah lebih dari satu jam, akhirnya Seroja keluar dari ruangan BK dan tepat sekali suara bel istirahat berbunyi. Karena perutnya juga sudah meronta ingin makan, Seroja tidak kembali ke kelas dan memilih pergi ke kantin. Ia masih kesal dengan Reano yang berani membohonginya hingga dihukum oleh guru piket.
"Ya Allah, semoga Reano dimutasi aja ke kelas lain. Hamba enek banget liat wajahnya, bikin naik darah." Serunya ketika kembali mengingat kejadian tadi pagi yang membuatnya emosi.
Sungguh, semenjak ada Reano di kelas, Seroja seperti orang yang kehilangan fokus. Selalu saja melamun dan berakhir kena hukuman. Dan, ini pertama kalinya ia mendapat hukuman karena terlambat masuk kelas. Seandainya kemarin malam ia tidak penasaran dengan gantungan kunci yang dimiliki oleh Reano, pasti ia akan tidur lebih awal dan tidak perlu menerima hukuman karena terlambat.
"Siapa yang mau dimutasi?" suara berat itu tidak asing bagi Seroja. Pelan-pelan ia membalikkan tubuhnya dan secara refleks ia membekap mulutnya.
"Hehehe... nggak ada kok." Seroja hanya bisa terkekeh melihat Reano sudah berada di belakangnya. Jangan-jangan ini anak denger ucapan gue yang tadi, mati gue. Batinnya.
"Hmmm..." Reano hanya berdeham, dan malah pergi meninggalkan Seroja.
Seroja menggarukkan kepalanya yang tidak gatal. Heran, tadi pagi Reano baik sekali mau menawarinya berangkat bersama. Sekarang sifatnya kembali menjadi kulkas tiga pintu.
"Aish. Kalau gue nggak penasaran sama gantungan kunci bulan itu, udah gue cincang si Reano." ujar Seroja dengan gemas.
***
Pelajaran matematika baru saja selesai. Pak Hasan pun melangkah ke luar sembari membawa buku rumus matematika di tangannya. Anak-anak di kelas akhirnya bisa bernapas lega, terbebas dari soal-soal yang diberikan secara lisan oleh sang guru. Karena jika tidak ada yang bisa menjawab soal tersebut dengan benar, maka semua anak tidak ada yang boleh ke luar. Begitu pun dengan Jenan, Gavin, dan Dio, mereka mengekspresikan kelegaannya dengan main adu suit.
"Yang kalah jemput Reano ke kelas sebelah." kata Gavin.
Dio hanya tertawa mendengar perkataan Gavin. "Eh Vin, palingan lo sendiri yang bakal jemput si Reano. Udah pasti lo kalah, Jenan kan jago banget main ginian."
Ucapan Dio pun langsung terwujud begitu Gavin bermain dengan Jenan. Padahal Gavin sendiri tahu bahwa Jenan jago sekali bermain adu suit seperti ini.
"Gue kan udah bilang, jangan sok tau mau adu suit sama Jenan. Lo kan tau dia pernah juara tiga lomba suit se-kecamatan." ujar Dio yang disambut dengan lirikan maut dari Gavin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Seroja
Ficção Geral"Kalau bisa memutar waktu, lebih baik gue nggak perlu tau tentang kenyataan ini..." Seroja ingat, hidupnya seakan lebih berwarna pada empat tahun yang lalu. Namun, suatu hari seseorang yang disayanginya pergi tanpa kabar. Semuanya mendadak kosong, t...