11 - Perlahan

1 0 0
                                    


Seroja terbangun dalam sebuah ruangan putih. Pakaian yang ia kenakan pun berwarna yang sama. Tidak ada apa pun selain dirinya, batas ruangan ini juga tak nampak bentuknya.

Dengan pelan ia berjalan, menjejaki ruangan tersebut. Seroja mengulurkan tangan untuk meraba udara kosong.

Lalu, perlahan sosok itu muncul dari ketiadaan.

Masih sama seperti tahun-tahun lalu, mata teduh berwarna cokelat hazel yang membuatnya nyaman, lesung pipi sedikit tersisip di pipinya, senyum manis yang terpampang di wajah itu.

Terbata, Seroja mengeja namanya.

"Ab..ian."

Seroja tersekat ketika laki-laki itu menoleh pada dirinya. Sedikit mengerjap pelan, seperti ingin menyampaikan perasaan rindu yang sama. Seroja mengulurkan tangannya, berusaha meraih jemari Abian, tetapi raut wajah laki-laki itu justru berubah. Matanya sendu, muram menghiasi wajahnya.

"Abian!" teriak Seroja frustrasi, berusaha menemukan meraih sosok yang sangat ia rindukan di antara kosongnya putih. Namun, tidak ada jawaban selain gema dirinya sendiri. Sampai sebuah tangan terulur, mengusap air matanya dengan ruas ibu jari.

"Jangan nangis, Oca.." ujar Abian parau.

Seroja mengangkat wajahnya, mencari satu titik kelegaan yang biasa ia temukan di wajah Abian. Namun, yang dapati justru ketakutan akan kehilangan. Seolah mimpi buruk ini akan terus menghantui. Seroja merasa bahwa takdir tidak akan mempertemukannya dengan orang yang ia cintai.

"Jangan pergi..." Dengan suara serak, diucapkannya kalimat itu dengan terbata. Seakan seluruh energinya habis untuk memohon. Abian tidak menjawab, tangannya melepaskan genggaman Seroja. Selanjutnya tanpa dugaan Seroja, nyaris seluruh tubuh Abian menjauh darinya.

"Bi, tolong jangan pergi lagi."

Masih tidak ada suara, hanya tatapan nanar dan deruan napas yang kini perlahan menghilang.

Seroja tidak mengerti apa yang saat ini terjadi, tiba-tiba jarak antara keduanya terbentang jauh. Ia hanya bisa memandang Abian yang sedang melambaikan tangan kepadanya. Seroja mencoba mengulurkan tangannya, seperti ingin menggapai Abian.

Ia menatap Abian seolah memohon agar laki-laki itu menghampiri dirinya. Namun, Abian hanya terdiam, lama-lama sosok itu benar-benar hilang dari hadapannya. Lenyap. Pada akhirnya, hanya keputusasaan yang mampu Seroja tangkap dari lensa hazel itu.

Kini, Seroja sadar, Abian memilih pergi meninggalkannya. Namun, ia yakin ada alasan mengapa Abian pergi menghilang. Ia juga yakin bahwa suatu saat nanti Abian akan pulang dan kembali menemuinya.

***

Seroja terbangun dengan keringat yang membasahi dahi dan pelipisnya. Semua yang ia mimpikan terasa begitu nyata. Sampai air mata itu membasahi pipinya, tak kuasa ia menelungkup tangan dan menangis sejadi-jadinya.

Seroja tak mengerti. Mengapa dirinya harus memimpikan Abian seperti itu. Walau hanya bunga tidur, semakin ia pikirkan, semakin nyata mimpi itu.

"Nggak biasanya gue mimpi buruk. Apa ada sesuatu yang akan terjadi." Gumamnya sambil sesenggukkan.

Seroja melirik ke arah meja belajarnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Lebih baik ia menunaikan kewajibannya sebagai muslim, mungkin dengan shalat Subuh bisa membuat hatinya tenang.

***

"Ada apa ini? Kok di depan kelas gue rame banget?" Seroja melepas earphone-nya, menatap kebingungan karena ruang kelasnya sudah ramai dikunjungi anak-anak murid kelas lain.

Rahasia SerojaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang