Part 11

418 71 4
                                    


Libur dulu ya publishnya beberapa hari, sekalian numpuk draft.

Happy New Year 2022

Happy Reading

Langkah Chika terus bergulir di tengah derasnya hujan yang menumpahkan airnya ke bumi. Menelusur jalan panjang yang ia susuri dengan pijakan kaki yang tertatih dan tubuh yang gemetaran karena kedinginan. Ia tetap sana menerobos tirai hujan yang seakan menghentikan semua laju pesepeda, pesepeda motor. Sejumlah pasang mata memperhatikan tingkah Chika yang menunduk sendu sepanjang jalan.

"Chika! Ayo pulang!" Badrun datang menghampiri di atas sepeda motornya. Ia kayuh dengan kaki mengikuti langkah Chika.

Ekor manik coklat itu melirik, mulutnya mencibir, "Kamu urusin Marsha aja!"

"Itu nanti kita omongin. Iya aku salah. Aku yang salah. Sekarang kamu naik. Nanti kamu sakit!" teriak Badrun, suaranya tenggelam beradu dengan derasnya hujan.

"Aku udah sakit. Sakit hati!" balas Chika mendebat, ia terus saja menapak.

"Please, Chik. Ayo naik. Nanti di rumah kamu mau pukulin, mau maki - maki aku terserah. Aku siap terima kemarahan kamu. Kali ini aja, Chik. Ayo aku anter." Badrun memelas, ia halangi laju langkah Chika dengan motornya.

Chika berhenti. Menimbang sesuatu dalam benaknya. Tubuhnya sebenarnya sudah tidak kuat menahan rasa dingin yang membuatnya amat menggigil. Bibirnya sampai biru kedinginan. Terbayang wajah Aya yang pasti akan sangat khawatir dengan kesehatannya. Lalu Chika pun menaiki boncengan motor Badrun dan bersembunyi dibalik jaket ponco yang lebar.

Motor Badrun segera melaju tanpa banyak kata - kata. Ia merasakan tangan yang begitu dingin dan tubuh yang amat gemetar di belakangnya. Jemari tangan yang mulai keriput di bagian ujungnya mendekap erat pinggangnya, lebih erat. Mungkin bisa sedikit mengurangi hawa dingin. Disusul tangis sesenggukan lagi yang terdengar sayup - sayup.

°°°

"Ya Tuhan, kamu ngapain, Chika?" Aya langsung merangkul dan membawa Chika ke dalam kamar. Tubuh anaknya ia tutupi dengan handuk lebar untuk mengeringkan pakaiannya yang basah, "Drun, tolong masak air panas," perintah Aya.

"Iya, Tante," jawab Badrun mengiyakan. Bagi Aya, Badrun sudah dianggap anaknya yang sebaya dengan Chika. Dari kecil mereka tumbuh bersama. Menyuruh, meminta tolong, atau apapun sudah mereka anggap hal biasa.

Air panas itu dipakai untuk Chika mandi. Masih terdengar saja isakan tangisnya. Badrun jadi tertekan. Jelas ia sangat bersalah, meskipun ia mempunyai alasan tertentu. Akan tetapi, apapun alasan itu tak akan ia jadikan tameng di hadapan Chika. Ia tetap salah, bagaimanapun. Bahkan bodoh dan culas. Mempermainkan hati orang seenaknya saja, lalu ia tinggal dan bermesraan dengan orang lain. Fatal.

Hampir satu jam Badrun duduk termenung menunggu di sofa. Panggilan dari Marsha ia jawab dan akan ia lanjutkan nanti. Satu hati sudah ia sakiti, tak perlu menyakiti Marsha juga. Ia tak mau kehilangan Chika, walau sudah meninggalkan luka yang akan terus membekas di hati sahabatnya itu.

"Jelasin ke Tante. Chika kenapa?" Aya datang dari belakang, alisnya menaut. Nada bicaranya penuh penekanan.

"Gini Tante..." Badrun jelaskan kronologisnya yang bisa ia utarakan lada Aya sejujur - jujurnya. Hal kecil sampai hal besar, Badrun ceritakan semuanya tanpa ada yang ia tutupi. Akan jauh lebih baik sebenarnya, tak ada hal mengganjal nantinya. Semua menjadi jelas dan terang. Chika cemburu.

Chika [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang