Yeorin menyentakkan tubuh menjauh, mata keemasannya seakan berkilat.
“Apakah semua pria menggunakan cara paksa jika wanita tidak bersedia menurut?” tanya Yeorin dengan gigi terkatup rapat. “Kuperingatkan kau, Jim, aku akan melawan. Mungkin aku tidak bisa menghentikanmu, tapi aku bisa membuatmu cedera.”
Jimin tertawa lembut.
“Aku tahu kau bisa melakukan itu.” Dia mengangkat satu tangan Yeorin yang terkepal dan mendekatkannya ke bibir, mengecup buku jemari Yeorin satu per satu. “Aku takkan memaksamu, Rin. Aku ingin menciummu dan mengatakan betapa cantik dirimu, dan melakukan semua yang bisa kupikirkan untuk memberimu kenikmatan. Kebersamaan kita yang pertama memang untukku, ingat? Tapi yang kedua untukmu. Tidakkah menurutmu aku bisa menunjukkannya kepadamu?”
“Kau mencoba merayuku,” ketus Yeorin.
“Mmm. Apakah berhasil?”
“Tidak.”
“Sial. Kalau begitu, aku harus mencoba cara lain, ya?” Jimin tertawa lagi, dan menekan bibir ke pergelangan tangan Yeorin. “Kau manis sekali bahkan saat marah padaku.”
“Aku tidak manis!” protes Yeorin, hampir merasa terhina mendengar pujian Jimin. “Tidak ada sifat ‘manis’ di tubuhku.”
“Wangi tubuhmu manis,” balas Jimin. “Rasamu manis. Dan cita rasamu adalah siksaan yang manis. Seharusnya namamu Sampanye alih-alih Yeorin, karena kau membuatku mabuk berat hingga aku tidak tahu apa yang kulakukan.”
“Pembohong.”
“Apa yang kulakukan untuk bersenang-senang sebelum bertemu denganmu?” tanya Jimin dengan masam. “Bertengkar denganmu membuat mendaki gunung begitu mudah.”
Nada geli dalam suara Jimin membuat Yeorin tidak tahan lagi; dia bingung sekaligus marah, tapi sepertinya Jimin berpikir itu lucu. Dia memalingkan kepala untuk menyembunyikan air mata yang menggenang.
“Aku senang semua ini membuatmu bersemangat.”
“Kita bicarakan itu nanti,” kata Jimin, lalu menciumnya.
Yeorin berbaring kaku di pelukan Jimin, menolak membiarkan bibirnya melembut di bibir Jimin, hingga sesaat kemudian Jimin menghentikan ciumannya.
“Apakah kau tidak menginginkanku sedikit pun?” bisik Jimin sambil menyurukkan wajah ke rambut Yeorin. “Apakah aku menyakitimu kemarin malam? Itukah masalahnya?”
“Aku tidak tahu apa masalahnya!” teriak Yeorin. “Aku tidak mengerti yang ku inginkan, atau apa yang kau inginkan. Aku tidak mengerti semua ini, dan aku tidak menyukainya!”
Rasa frustrasi yang Yeorin rasakan pada diri sendiri dan pada Jimin menggelegak keluar, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kenyataan sesungguhnya.
Benaknya begitu keruh hingga tidak ada yang membuatnya senang. Yeorin ingin mengamuk, tapi tidak memiliki saluran aman untuk melampiaskannya. Dia pernah diperlakukan kasar, disakiti, dan meski bertahun-tahun berlalu, baru sekarang kemarahan itu meluap dari kebekuan tempat dia mengurung semua emosinya. Dia ingin melukai Jimin, memukulnya, karena Jimin pria dan menjadi simbol apa yang Yeorin alami, tapi dia tahu Jimin tidak bersalah — setidaknya terkait pengalaman hidupnya. Meski begitu, kemarin malam Jimin menguasainya, dan sekarang mencoba untuk menguasainya lagi.
Dengan marah Yeorin mendorong Jimin sampai telentang. Sebelum Jimin sempat bereaksi, Yeorin mengekangnya, wajahnya dipenuhi emosi yang terlihat jelas.
“Kalau ada yang harus menggoda, akulah orangnya,” dia berkata dengan marah. “Sialan, jangan berani bergerak!”
Mata Jimin melebar, dan di wajahnya melintas pemahaman seutuhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lie To Me
Romantizm(Completed) Kecelakaan mengerikan membuat Han Jimin lumpuh, dan kehilangan semangat hidup. Ia pesimis akan pulih kembali dan menolak semua bentuk terapi yang disarankan. Sebagai terapis andal, Kim Yeorin yang ditawari pekerjaan untuk membantu memul...