Malam itu, langit terlihat begitu bersih, tepat di mana gerhana bulan terjadi, di mana bulan ditutupi oleh bayangan bumi. Peristiwa ketika posisi matahari, bulan, dan bumi tepat atau membentuk garis lurus. Malam itu bulan menampilkan blood moon, warna kemerahan dari pantulan cahaya yang diberikan oleh matahari. Hampir dua jam terjadi gerhana matahari, di saat yang bersamaan terdengar tangisan bayi dari tiga penjuru yang berbeda.
Tiga bayi yang di kemudian hari akan membawa petaka atau sebaliknya. Masing-masing dari bayi itu memiliki tanda lahir yang berbeda yang terdiri dari tanda matahari, bulan dan bumi.
Ya, mereka adalah semesta yang dilahirkan ke dunia. Bagian mereka berdasarkan semestanya masing-masing, tetapi bukankah akan berbahaya jika ketiganya berlebihan? Misalnya matahari jika memberikan panas yang berlebihan akan membahayakan banyak orang di bumi, tanpa adanya pancaran matahari, manusia di bumi tidak akan beraktivitas, lalu bulan juga tidak akan muncul di malam hari untuk memberikan cahaya.
Dari keseluruhan, matahari adalah yang paling dibutuhkan tetapi juga paling berbahaya, sementara bulan dan bumi akan terkena dampak dan menjadi bagian yang paling membutuhkan keberadaan matahari.
Tepat lima menit sebelum cahaya kemerahan itu menghilang, sebuah bintang bersinar dengan sangat terang, menghiasi langit malam.
Dia bertahan meski gerhana bulan telah usai, dan yang tersisa hanya langit malam yang hitam dan kosong. Cahaya bintang itu seolah menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang manusia lupakan saat gerhana bulan terjadi yaitu bintang.
Sesuatu yang tidak berada di garis ketiganya saat gerhana bulan terjadi. Bintang seolah dikucilkan, bahkan saat gerhana matahari pun dia tidak ikut hadir. Malam itu bintang menunjukkan dirinya, menerangi malam untuk pertama kalinya. Bersamaan dengan itu terlahir pula sosok bayi yang bahkan saat terlahir bayi itu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dia tidak menangis seperti bayi lainnya.
Bayi itu lahir dengan sempurna, netra indahnya yang terbuka serta senyumnya yang cerah, meyakinkan mereka bahwa dia tidak perlu menangis untuk menunjukkan dia ada dan dia hidup. Semesta telah melahirkan sosoknya di dunia, lalu bagaimana jika semesta bertemu di satu tempat? Mungkinkah sesuatu yang buruk akan terjadi?
...
Cahaya matahari membangunkan gadis cantik itu. Dia menyibak jendela kamarnya, membukanya lalu merentangkan tangan, menghirup udara pagi yang begitu sejuk.
"Selamat pagi, semesta," ucapnya.
Terhitung sekitar lima menit dia berada di hadapan alam, menutup mata, menghadap sang semesta, dia seolah ditarik untuk meresapi lebih dalam suara-suara merdu di balik semesta yang terlihat tenang.
"Tara Lulana, anak Mama paling cantik, apakah kamu sudah bangun?" Teriakan dari luar membuatnya menyudahi pertemuan singkatnya dengan semesta.
"Iya, Ma, Tara udah bangun kok. Ini mau siap-siap dulu," balas gadis itu.
Nama lengkapnya Tara Laluna, putri tunggal dari keluarga Danendra dan Valerie. Gadis cantik yang terlahir prematur, ya, meski terlihat sempurna dari wajahnya, dia terlahir dengan tidak sempurna, sehingga meninggalkan sedikit jejak pada fisiknya.
Gadis itu sedikit pincang meski tidak terlalu kentara, hanya terlihat saat dia berlari, dia akan kesulitan menyeimbangkan gerakan kakinya sehingga gadis itu sering terjatuh dan menyebabkan cedera di kakinya.
Merasa masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah, gadis itu memilih untuk menemui sang papa, setelah selesai bersiap.
"Pagi, Papa," sapanya.
Pria itu tersenyum, menyambut putri kesayangannya.
"Pagi juga kesayangannya Papa,"
"Duh, putri Papa udah cantik aja nih, udah siap ketemu teman baru sepertinya," puji Danendra membuat Tara tersenyum.
Dia bersyukur meski terlahir tidak sempurna, kedua orang tuanya begitu menyayanginya, memperlakukannya dengan sangat baik.
"Tara akan baik-baik aja kan Pa?" tanya gadis itu.
Sebelumnya dia pindah sekolah karena mendapat bulian dari teman-temannya. Dia memang cantik dari wajahnya, membuat banyak orang iri padanya, sehingga dengan sengaja orang-orang itu memanfaatkan kelemahan Tara untuk membully gadis itu.
"Tara akan baik-baik aja. Papa janji tidak akan ada satu pun yang bisa membully kamu lagi di sekolah baru kamu. Itu sekolah milik Papa, jadi jika ada yang berani menindas kamu, Papa gak akan segan-segan untuk mengeluarkan dia dari sekolah kita," tutur Danendra meyakinkan. Tara tersenyum lalu memeluk Papanya.
"Papa lagi apa tadi?" tanya gadis itu ikut menatap laptop di hadapan pria itu.
"Bintang penuntun? Ini cerita yang lagi ditulis sama Mama ya?"
Danendra mengangguk membenarkan.
"Mama hebat banget. Gak pernah gagal kalau menulis cerita. Pemilihan diksi, karakter sama alur ceritanya juga gak pernah gagal. Salut banget sama Mama," ucap Tara penuh kekaguman, Danendra mengacak gemas rambut putrinya itu.
"Semuanya gak terjadi secara instan Sayang," ucap seseorang yang baru tiba, wanita paruh baya yang tidak lain adalah Valerie, ibunya Tara Lulana.
"Perlu proses yang panjang sampai Mama akhirnya bisa menulis kisah seperti yang kamu lihat sekarang," lanjut wanita itu sembari meletakkan secangkir teh hangat untuk suaminya.
Valerie adalah seorang penulis buku yang cukup terkenal, bahkan saat ini wanita paruh baya itu sudah memiliki penerbitannya sendiri, dengan cabang yang sudah tersebar di mana-mana. Tara selalu suka setiap Mamanya itu menulis novel.
"Tara fans novel Mama loh," ungkap Tara
"Ngapain ngefans sama Mama sendiri sih, Nak," heran Danendra geleng-geleng kepala melihat putrinya yang sedikit absurd itu.
"Emang salah ya Pa?"
"Enggak kok Sayang. Kalau Tara mau seperti Mama juga boleh banget. Mama berharap kemampuan Mama menurun sama kamu juga," tutur Valerie.
Sampai berusia 17 tahun, belum ada tanda-tanda putrinya mewarisi kemampuan menulisnya. Putrinya itu terlihat biasa saja, Tara memang suka membaca karyanya, tetapi tidak sekalipun Valerie melihat putrinya tertarik untuk membuat kisahnya sendiri.
"Hem, mungkin kemampuan Papa yang menurun sama Tara," sahut Tara asal ceplos, membuat kedua orang tuanya terkekeh.
"Bintang penuntun itu apa, Ma? Itu cerita fantasi ya?" tanya Tara, sedikit dia membaca cerita yang sepertinya baru dirancang oleh wanita paruh baya itu.
"Bintang penuntun itu adalah cahaya yang menuntun banyak orang saat kegelapan mencekram mereka, karena cahaya dari matahari dan bulan yang menghilang tiba-tiba, itu cerita tidak sepenuhnya fantasi sih, Mama juga masih merancang, belum menentukan apakah akan Mama buat khusus fantasinya atau real life aja," jelas Valerie.
"Woah, keren banget Mamaku," puji gadis itu. Dia terlihat begitu bangga pada sosok orang tuanya.
"Hem, jadi Mama aja nih yang keren? Papanya enggak?" cibir Danendra pura-pura kesal. Tara segera menghampiri pria itu, lalu memeluknya.
"Papanya Tara juga keren," ucapnya.
"Udah-udah, Tara udah siapin semua keperluan hari ini kan?" tanya Valerie memastikan, gadis itu mengangguk.
"Ya udah, Papa siap-siap sebentar ya, habis itu kita sarapan, Tara berangkat sama Papa aja, sekalian Papa juga mau meninjau langsung keadaan sekolah kita," ucap Danendra, Tara mengangguk.
Setelah kepergian pria paruh baya itu, Tara dan Valerie memilih untuk turun duluan, sembari bercerita banyak hal, tipe ibu dan anak yang sama-sama ramah, sehingga mudah menyatu.
Bintang penuntun adalah sosok penyendiri yang tidak pernah dianggap keberadaannya, tetapi di saat tertentu dia akan hadir, memberi cahaya, menggantikan fungsi matahari dan bulan untuk tetap menerangi bumi saat kegelapan mencekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA - SELESAI
Teen Fiction[TERBIT] Ikut serta dalam writting challenge batch 02 bersama penerbit LovRinz Tara Lulana, gadis dengan kesejukan dalam dirinya, dia yang mudah senyum, sederhana dan apa adanya. Awalnya Tara berpikir dengan pindah ke SMA Semesta, hidupnya akan baik...