Akan ada satu waktu di mana kita yang merasa bisa melakukan segalanya sendiri, mandiri dan tidak membutuhkan kehadiran orang lagi, akan membutuhkan mereka.
Kita hanya manusia biasa, sehebat dan sekuat apa pun, pasti kita butuh orang lain, seperti halnya semesta yang tidak hanya terdiri dari satu bagian, semesta harus tetap seimbang dan akan selalu membutuhkan bagian yang satu dengan yang lainnya, hanya dengan begitu semesta akan tetap seimbang.
"Gue cuman mau mengingatkan kalau sehebat apa pun lo sekarang berdiri, lo akan selalu butuh orang lain, sadar atau tidak sadar lo terlalu gengsi untuk mengatakan kalau lo butuh bantuan," ucap Ravi pada Aylin yang masih kekeuh dengan prinsip dia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.
"Lo gak perlu mengajari gue. Dari dulu, gue selalu sendiri, dan yah gue masih hidup kok sampai hari ini," cetus Aylin meninggalkan Ravi tanpa mengucapkan terima kasih pada pria yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
"Dasar kepala batu, ck!" decak Ravi.
Pria itu merapikan rambutnya, mengenakan almamater kebanggaan SMA Semesta sebelum mulai berjalan ke kelasnya. Seperti biasa pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, ciri khas seorang Ravi Baskara.
"Ups, gue gak lihat lo, jadi gue duluan ya, Pak Ketua," ucap orang tersebut mendahului langkah Ravi, siapa lagi kalau bukan Jagat Dimitri Regano.
"Dasar manusia primitif," cerca Ravi, Jagat menghentikan langkahnya
"Tunggu, gue gak salah dengar? Bukannya sifat lo yang terlalu kaku dan primitif, kalau gue mah dinamis, berdasarkan perkembangan zaman dan revolusioner, lah lo, masih sok cool dan sok paling dihormati, aneh," balas Jagat tidak mau kalah. Ravi terkekeh
"Lo bangga hanya dengan imajinasi lo yang aneh itu? Gue gak yakin sih Tara akan suka sama cowok seperti lo," cemooh Ravi mulai menyangkut pautkan Tara
Rahang jagat mengeras, pria itu cukup tersinggung dengan kata aneh pada hasil karyanya. Pria itu menatap tajam Ravi yang membalasnya dengan tatapan datar, pria tenang dan tidak mudah terpancing.
"Dengar baik-baik, kalau lo mendekati Tara hanya untuk menjatuhkan gue dan mempermainkan hatinya dia, siap-siap aja lo berhadapan sama gue, camkan itu baik-baik!" peringat Jagat
"Mari lihat siapa yang akan menjadi sandaran untuk Tara, si pria imajinatif atau sosok yang bisa melindungi dia," tukas Ravi, pria itu tersenyum miring sebelum mendahului Jagat. Pria itu mengepalkan tangan.
Sementara di jarak beberapa meter seorang gadis menghela napas menatap perdebatan dua pria itu.
"Matahari dan bumi memperebutkan kehadiran bintang. Bintang butuh matahari dan bumi membutuhkan bintang, lalu bagaimana dengan nasib bulan yang selalu sendirian?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri.
Dia menggeleng, dia akan tetap pada pendiriannya, dia akan tetap melakukan semuanya sendiri, dia telah terbiasa dan sampai kapan pun tidak akan berubah.
..
Seharian Tara tidak bisa konsentrasi pada pelajaran yang diberikan, ada dua hal yang saat ini mengganggu pikirannya. Pertama tentang sosok yang mengiriminya hadiah mahal itu dan kedua adalah Miya yang tidak hadir hari ini, sahabatnya itu menghilang tanpa kabar. Kinanti dan Malika juga tidak mengetahui keadaan Miya dan alasan sampai Miya tidak masuk sekolah.
"Tara!" panggil guru yang tengah mengajar fisika, Tara tersentak kaget.
"Iya Pak," sahut gadis itu terbata-bata.
"Coba kerjakan soal di depan," suruh pria berkacamata tersebut. Terlihat meremehkan Tara.
Gadis itu menghela napas, kenapa orang suka sekali menguji kemampuannya. Tara mengambil spidol lalu mulai mengerjakan soal tersebut tanpa terlihat kesulitan sekalipun, padahal gadis itu sama sekali tidak memperhatikan selama gurunya mengajar, pikirannya tidak berada di sana.
"Sudah Pak," ucap Tara memberitahu.
Pria berkacamata itu berulang kali mengecek dan benar jawaban Tara tepat sesuai harapannya.
"Kenapa tidak mengambil kelas fisika dan matematika, Bapak lihat kemampuan kamu di fisika cukup bagus?" tanya pria itu, seperti dugaan Tara, mereka pasti akan mempertanyakan hal itu.
"Saya tidak perlu menonjolkan salah satu kemampuan saya, Pak. Bagi saya, bisa menguasai setiap bagiannya sudah lebih dari cukup. Saya tidak perlu ahli di bidang fisika, ahli di seni atau kepemimpinan, selama saya nyaman dengan apa yang saya miliki, itu yang terbaik," tutur Tara.
Gadis itu mengubah cara pandang semua orang.
"Itu berarti kamu mau menjadi pelengkap?" tanya pria itu lagi
"Benar Pak." balas Tara tanpa ragu.
Gadis itu kembali ke tempat duduknya.
"Baiklah, sampai sini pelajaran kita hari ini. Jangan lupa tugasnya dikerjakan, sampai ketemu minggu depan," pamit pria paruh baya itu.
Kinanti dan Malika baru tahu mengenai kemampuan Tara yang satu ini.
"Tar, itu tadi lo yang ngerjain soalnya?" tanya Malika masih terlihat tidak percaya, Tara hanya tersenyum.
"Kenapa lo lebih memilih sebagai pelengkap dibandingkan yang utama?" tanya Kinanti tiba-tiba. Malika turut mengangguk, ikut penasaran dengan jawaban Tara.
"Bukankah di masing-masing kelas sudah memiliki orang yang mendominasi, lalu aku harus menggantikan salah satu dari mereka? Menjadi pelengkap akan lebih baik daripada harus jadi pesaing," jelas Tara.
"Lo memang sahabat gue. Gak salah sih lo bergabung sama kita," ucap Malika merangkul pundak Tara.
Ketiganya berjalan beriringan, sambil sesekali tertawa. Mereka tidak peduli jika orang lain menatap mereka aneh karena langkah mereka yang lambat. Tepat ketika sampai di tangga, mereka harus berhenti bersama siswi lainnya. Di depan sana ketiga orang yang teramat penting tengah berjalan saling mendahului.
"Hati-hati kalian," pesan Tara, mereka akhirnya berpisah di parkiran.
Tara memutuskan untuk mengunjungi rumah Miya, entah mengapa Tara merasa khawatir dengan keadaan Miya saat ini. Gadis itu meminta Danendra untuk mencari alamat rumah sahabatnya itu.
"Pak, kita ke alamat ini dulu ya," pinta Tara menunjukkan alamat di ponselnya.
"Baik non." Sahutnya.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk tiba di depan sebuah rumah berpagar tinggi tersebut. Seperti yang Tara tebak sebelumnya, semua orang yang masuk SMA Semesta pasti bukan dari kalangan biasa.
"Maaf Pak, apa Miya ada di dalam?" tanya Tara pada satpam yang berjaga di sana.
"Ehm itu non Miya.." Pria berkumis itu terlihat ragu membuat Tara semakin yakin sesuatu tengah menimpa sahabatnya.
Setelah diberi izin Tara mencoba mempercepat langkahnya meski kadang terasa sakit. Sungguh! Tara terkejut mendapati Miya dengan kondisi yang memprihatinkan. Di dalam kamar yang gelap, Miya menangis sesengukan.
Tara melangkah mendekat.
"Miya," panggilnya lembut, gadis itu mendongak, matanya bengkak.
"Tara hiks,"
Dia bergerak memeluk tubuh Tara, beruntungnya Tara bisa menyeimbangkan tubuhnya. Tara menarik Miya untuk duduk. Untuk beberapa waktu Tara membiarkan Miya menangis dalam pelukannya.
"Tar, bawa gue ke rumah lo. Gue gak mau di sini lagi," mohon Miya.
Tara menghela napas, mungkin belum saatnya meminta Miya untuk bercerita padanya. Gadis itu mengangguk, menyetujui permintaan Miya, toh Danendra dan Valerie akan dengan senang hati menyambut kehadiran Miya. Masalah apa yang terjadi, akan dia pikirkan nanti.
"Ya udah, kita ke rumah aku ya," sahut Tara.
Keduanya melangkah menuruni tangga rumah Miya dengan hati-hati. Tidak penting menjadi yang utama dan dipuja banyak orang, yang paling penting itu selalu ada di saat yang tepat, menjadi pelengkap bukan berarti tidak diakui keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA - SELESAI
Teen Fiction[TERBIT] Ikut serta dalam writting challenge batch 02 bersama penerbit LovRinz Tara Lulana, gadis dengan kesejukan dalam dirinya, dia yang mudah senyum, sederhana dan apa adanya. Awalnya Tara berpikir dengan pindah ke SMA Semesta, hidupnya akan baik...