Bagian 16

30 3 0
                                    

Assalamualaikum wr.wb



Dua tahun telah berlalu, darma pun masih sering berkabar dengan salma. Ternyata mengikhlaskan salma tak semudah yang ia bayangkan, bayangan salma masih sama dan terus ada.

"Nak, nanti jadi ke pura kan?" Ayahku datang dengan membawa sebuah udeng Bali yang biasa ku pakai saat beribadah.

"Jadi yah."

"Kamu kemarin ada apa kok kayaknya serius ngomong sama ustad ilyas?"

Aku mengatur kata agar ayah tak salah faham. "Kemarin ustad ilyas tanya, darma bisa ga bantuin untuk cari tukang yang bisa renovasi masjid."

"Oh ya sudah."

Aku bernafas lega, memang ayahku sangat protektif apalagi ini masalah agama. Ayahku juga tidak tahu aku pernah dekat dengan Salma.

"Ayah, darma ada sesuatu yang harus disampaikan."

Ia melihat kearah ku dengan tajam. Aku mulai menghela nafas panjang sebelum mengatakan hal ini, aku tidak bisa terus-terusan merasa tidak nyaman dengan hal ini.

"Ada apa ini kok sepertinya serius sekali ngobrol nya."

Ibuku ikut bergabung disamping ayah.

"Darma ingin pindah keyakinan."

Ayahku langsung menyentak kasar cangkir yang berada didepannya, aku sudah menduga kalau memamg ayahku akan menentang hal ini. "Kamu sudah terpengaruh ustad ilyas kan? Kamu tidak usah bohong pada ayah!"

"Sabar yah." Ibuku berusaha menenangkan ayah.

"Yah dengarkan darma dulu, darma mulai mengangumi islam bukan saat bertemu dengan ustadz ilyas, tapi karena dulu lingkungan kuliah darma banyak orang islam. Darma setiap malam selalu diberi mimpi dengan isyarat untuk mengikuti islam." Aku melihat mata ayah yang memerah lalu dengan cepat tangan ayah menampar pipiku dengan keras.

Sakit. Ayahku masih terus mengeram marah. "kamu bisa pergi dari rumah ini sekarang!" Setelahnya ayahku pergi meninggalkan aku dan ibuku diruang tamu.

"Nak, kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan tadi?" Ibuku memang tak pernah menunjukkan kemarahannya padaku, ia adalah malaikat yang selalu mampu menjadi ruang bersandar ku.

"Darma yakin bu. Maaf" aku menunduk. Ibuku dengan cepat memelukku, ia menangis dengan tersedu-sedu.

"Ibu kenapa menangis?"

"Ibu terharu dengan kamu. Ibu akan mendukung apa yang kamu inginkan dan apa yang menjadi keyakinan kamu."

Aku masih menatap lurus ke ibu dengan Mata yang memerah, aku juga merasa bersalah pada ayah namun bagaimana lagi. Ini juga menjadi keinginanku.

Langkah kaki ayahku terdengar, ia melempar sebuah tas dengan koperku lalu menyeretku keluar rumah. Ibuku menangis histeris namun ayahku tetap menyeretku keluar.
"Keluar darisini dan jangan anggap aku ayah kamu!" Bersamaan dengan itu pintu dibanting dengan keras. Aku menenteng barangku dan mulai pergi darisana.

Sungguh aku tidak tahu jika akan seperti ini. Aku melangkahkan kaki melewati gang rumah ustadz ilyas, beliau tengah membersihkan halaman rumahnya.

"Darma mau kemana?"

Aku menoleh, ia menghampiriku dan melihat aku yang membawa koper serta tas. "Saya mau pergi ustadz."

"Pergi kemana? Kan kamu udah lulus dar?"

Aku lalu dipersilahkan duduk di teras rumahnya dan akupun mulai menceritakan tentang kejadian tadi. Ustaz Ilyas berucap istighfar dan menyuruhku untuk memaklumi sikap ayah dan tetap menghormati nya.

BERBEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang