Aku benar-benar jahat kali ini. Ceritanya aku sudah tak sabar dengan gadis berkarir model benama Erin Clarissa itu karena ia sudah mengikuti sejak awal ia masuk sampai akhir semester dan aku mengonfrotasi nya di sekolah. Kali ini aku ingin membuatnya benci padaku. Benar-benar membenciku.
"Apa masalahmu?" tanyaku begitu aku duduk di mejaku.
Ia hanya diam.
"Kau tahu, kau sperti seorang cabul, mengikutiku kemana-man," lanjutku dengan nada kesal.
Namun hal yang terjadi selanjutnya di luar perkiraanku. "BUG!" ia memukul wajahku. I mean benar-benar memukulnya hingga aku terjatuh dari kursiku. Aku diam terduduk di lantai, mengamatinya dengan pipi yang masih sakit. Lalu ia ia tengah bersiap untuk menghadapiku, mengira aku akan membalasnya. Gadis ini bukan saja aneh, ia gila. Mungkin lebih gila dari orang gila sekalipun. Aku berdiri, membenahi pakaianku dan duduk seolah tak terjadi apa-apa. Tak peduli dengan seisi kelas yang memperhatikan kita. Aww, pipiku benar-benar sakit. Jujur saja, awalnya aku tidak merasa bersalah karena aku menghinanya, karena kebiasaannya mengganggu dan mengikutiku mungkin akan berhenti. Aku hanya ingin ia tidak menggangguku lagi. Itu saja.
Dan pada dasarnya, hal itu berhasil. Tapi ia menjadi murung setiap hari. Makan, sekolah, jalan mukanya selalu murung dan tertunduk. Lama-lama aku menjadi merasa bersalah. Dan selama beberapa minggu aku tak bisa tenang karena hal itu. Harusnya aku senang karena ia membenciku. Tapi membenciku lebih buruk dibanding ia mengikutiku.
Aku tak bisa tidur, makan tak sedap, dan selalu kepikiran tentangnya. What the hell is wrong with me. Apakah aku mengaguminya? Jatuh cinta padanya? Kenapa aku selalu merasa bersalah? Maybe not. Mungkin karena aku terlalu kasar dan merasa kasihan padanya hingga aku tak bisa tak mengingatnya. Dan aku mempelajari jika ia tak punya teman di sekolah. Super introvert. Sama sepertiku.
Aku mendengar dari ibuku jika ia diejek teman-temannya karena karir modelnya dan semua pria mendekatinya hanya untuk berpacaran dengannya. Semua pria menyukainya karena badan dan penampilannya. I mean, ia memang seksi dan cantik, apalagi ia keliahatan seperti berumur 20an. Tapi ibuku bercerita lagi, ia tak bisa berteman dari kecil, karena itu orang tuanya tiba-tiba berterima kasih padaku karena mereka mengira aku adalah teman satu-satunya. Sejak kecil ia memang suka di-bully karena kesuksesannya. Banyak yang benci jika ia sukses.
Sekolahku adalah komunitas homeschooling dimana hanya anak-anak orang mampu yang bisa sekolah disana, karena fasilitasnya lengkap. Tapi aku membenci teman-teman sekolahku. Kebanyakan dari mereka adalah anak manja, sombong, angkuh, suka pamer. Mereka selalu memamerkan barang-barang mereka, mulai dari outfit mahal hingga gadget mewah.
Sementara gadis ini, dilihat dari outfit-nya sih, tampak mahal. Tapi ia rendah diri sekali. Ia bahkan memeberikan beberapa mainan mewahnya untuk adikku. Hingga koleksi mainan adikku memenuhi kamar ibu. Ia bahkan tak terlalu aktif bermain media sosial. Foto-foto yang ia upload hanya iklan-iklan produk, mulai dari makanan hingga berbagai produk kecantikan. Sebagai model terkenal, meski bukan papan atas, pastinya pengikutnya di sosial media banyak sekali. Kadang aku lihat beberapa pria tergila-gila padanya hingga me-spam komentar di setiap postingannya. Tentu saja Erin tak menggubris hal itu. Terlalu bodoh jika ia membalasnya.
Aku harus minta maaf, entah bagaimana caranya. Tapi aku hanya punya satu rencana. Sebelum sekolah aku membeli satu batang coklat, setelah itu aku menuliskan "Maaf ya... Gavin" di post-it dan menempelkannya di batang coklat itu kemudian menaruh di lokernya. Aku tak tahu apakah cara ini akan bekerja, tapi aku tak mungkin meminta maafnya secara langsung, apalagi ia membenciku. Dan sudah bertahun-tahun aku tidak mengobrol dengan orang, apalagi cewek.
Erin menemukan coklat itu di pagi hari, saat ia berangkat sekolah. Seperti biasa ia selalu menyibakkan rambutnya sebelah kanan ke belakang telinganya setiap ia akan duduk. Itu membuat rambut birunya hanya kelihatan sedikit.
Erin kemudian melihat lokernya mencari sesuatu. Dan ketika ia menarik tangannya, kulirik, sebatang coklat yang kuberikan berada di gegamannya. Ia mengambil post-it itu, kemudian melirikku dan melihatku. Agar tak ketahuan, kalau aku sedang mengamatinya. Aku pura-pura tidur, menenggelamkan wajahku di tangan yang terlipat di atas meja.
Kurasakan ada jawilan di pundakku. Saat kuabangun, wajahnya sudah berapa di hadapanku.
"Hum??" aku menggerung ke arahnya. Tak mau dibangunkan. Karena sebetulnya saat ini aku sedang ngantuk dan ingin sekali tidur.
Erin menjelingkan matanya ke kiri, memberiku kode untuk mengikutinya. Lalu ia keluar kelas duluan, sementara aku mengikutinya dengan malas. Apa yang ia inginkan? Apakah ia memaafkanku? Berbagai pertanyaan terus membisiki kepalaku.
Hari ini hari yang dingin, dan gadis itu mengajakku ke parkiran PKBM. Dimana aku mengencangkan jaketku karena hari itu sangat dingin. Gadis itu menugguku, duduk di sebuah motor bebek yang diparkirkan dengan melipatkan tangan di dadanya. Aku dengan malas-malasan duduk di hadapannya di sebuah motor matic besar. Masih ada waktu 15 menit sebelum guru masuk, jadi aku masih punya waktu untuk mendengarkannya. Sebetulnya, jika aku terlambat, masih tidak apa2, toh ini bukan sekolah negeri atau swasta yang mempunyai peraturan yang ketat, jadi aku tak akan dihukum. Ini hanya sebuah lembaga yang menyediakan ijazah SD, SMP, SMA bagi yang membutuhkan. Jadi, aku tidak perlu masuk dan lebih baik belajar privat di rumah. Tapi karena orangtua ku memaksa. Aku terpaksa masuk.
YOU ARE READING
Miracle do Exist
Teen FictionGavin adalah seorang pemuda yang sudah menyerah dalam hidupnya, sampai ia bertemu seorang gadis bernama Erin yang membuka matanya bahwa keajaiban itu ada.