Saat malam natal setelah diijinkan ibuku, aku pergi ke rumah Erin. Sementara ibuku kencan dengan pacarnya, dan adikku dititipkan ke tempat ayah karena ayah tak mempunyai acara hari itu. Aku pergi dengan kaos biasa, jumper dan celana training karena itu adalah outfit paling nyaman bagiku. Sehari-hari pun aku memakai itu, kecuali saat ke sekolah, aku memakai jeans.
Ruang tamunya begitu mewah. Bifet ditempelkan di dinding lengkap dengan bermacam-macam hiasan patung mewah. Kursi-kursi di ruang tamu merupakan kayu semua.
Di ruang utama terdapat sofa besar dengan meja besar, sementara tv tertempel di dinding. Sementara di belakang tv terdapat tangga menuju lantai 2, dapur, dan kamar mandi. Di sebelah kiri ruang keluarga terdapat pintu menuju garasi, sementara di sebelah kanannya terdapat pintu menuju sebuah kamar.
Erin memimpinku ke meja makan kecil yang ada di sebelah kiri ruang keluarga. Disana terdapat kue brownies, ayam panggang, salad, buah-buahan, sup jagung, dan tiga gelas coklat panas.
Ayah Erin yang bernama Om Adam keluar dari kamar ke menyapaku dan mempersilahkan ku duduk. Aku tahu ia merupakan seorang muslim yang taat dan mempunyai istri serta anak beragama kristen. Ia keluar dengan pakaian biasa tapi cukup rapi.
Aku makan dengan canggung, tapi ayah Erin mulai memecah suasana dengan bertanya padaku:
"Aku minta maaf Vin, aku dengar dari ibumu bahwa kau hanya punya waktu 3-4 tahun lagi untuk hidup."
Itu adalah kata-kata yang buruk untuk memulai obrolan pak, batinku. Kulihat Erin berhenti makan karena kaget dan aku hanya tersenyum karena itu benar. Tentu saja aku tak memberitahu Erin tentang hal ini.
"Wait, What? Kenapa kau tak menceritakan itu padaku?" tanya Erin.
"Aku malas cerita itu, lagian buat apa? Nambahin depresi?" jawabku bercanda. Tapi kulihat ini serius untuknya.
Om Adam kemudian melanjutkan:
"Well, dulu aku juga mempunyai istri begitu, saat kecil karena tumor di otaknya, kematiannya sudah ditentukan, ia dulu juga tentu juga mungkin sempat depresi. Kanker-nya seolah-olah adalah bom waktu di badannya. But she believed in miracle. And she found it. Karena itu ia bisa berumur panjang, menikah denganku dan mempunyai anakku satu-satunya. Aku berada di sampingnya ketika menjelang kematiannya. Pada waktu itu aku membuat kesalahan besar, aku malah meninggalkan Erin dan berduka sendiri. Karena aku meninggalkannya akibatnya ia depresi dan ingin bunuh diri. Untunglah aku ada disana ketika itu terjadi."
"Daddy, stop!" ujar Erin berusaha menghentikan ayahnya.
Tapi Pak Adam melanjutkan ceritanya:
"Tapi hal itu penyebab ia tak mempunyai teman di sekolah. Kalau saja aku menyadari jika ia mempunyai asperger sejak dulu. Kalau saja aku berada di sampingnya saat ibunya meninggal. Kalau saja aku lebih mengenal anakku..."
Erin menggenggam tangan ayahnya mengelusnya lalu memeluknya. Sementara aku hanya diam tak bisa berkata apa-apa. Hanya mengunyah ayam dan nasi menjadikannya sangat lembut di mulutku.
Tapi sebuah pertanyaan muncul di benakku:
"Miracle apa yang ia temukan?"
"Om tak tahu, istri om tak pernah bilang."
Aku kembali diam dalam kekecewaan. Bagaimana ibunya Erin mampu bertahan sejauh itu dan meninggal pada umur hampir 40an. Tidak masuk akal. Dalam hati, aku juga ingin berumur panjang. Tapi chance-nya mungkin hanya 1 banding 10, bisa saja lebih rendah.
Aku hanya ingin hidup damai, tak tergantung orang lain, sehat, dan prima. Tapi mungkin kematian adalah hal yang baik. Mungkin dengan mati aku bisa hidup tenang di surga. Karena kenikmatan yang aku paling nantikan di surga adalah kedamaian. Tidak usah mencari uang ataupun bertahan hidup. Tidak ada perang, tidak ada orang kelaparan, dan tidak ada permusuhan. Itulah surga.
Raut wajah Erin terlihat masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dan itu membuatku putus asa. Mood ku memang gampang berubah entah kenapa. Parahnya, mood orang lain juga mempengaruhiku, apa lagi jika orang itu dekat denganku. Entah apa yang terjadi padaku.
Selesai makan Om Adam menunjukkan album foto istrinya. Ia mempunyai rambut pirang yang panjang serta kulit putih bule. Hidungnya pun mancung, mirip seperti Erin. Kutatapi foto ibu Erin dan aku yakin ia sudah melalui banyak rintangan dalam hidupnya. Mengingat ia mempunyai kanker otak sejak kecil. Aku membuka lembaran yang lain. Ada beberapa foto ibu Erin yang terlihat tidak mempunyai rambut. Bebearapa foto kulihat ia memakai kupluk untuk menutupi rambutnya. Bahkan ada beberapa foto ketika ia menggendong Erin yang masih bayi.
Om Adam memberitahuku bahwa istrinya bernama Dakota. Ia juga memberitahukju bahwa betapa ia mencintai istrinya meskipun ia harus membantah orang tuanya dan kawin lari dengan istrinya. Ia sama sekali tak menyesali hal itu.
Om adam pun bercerita panjang lebar tentang istrinya yang aku dan Erin dengarkan di ruang keluarga. Ia bercerita bahwa betapa semangat istrinya untuk melanjutkan hidup dan tak takut akan kematian, betapa nikmat masakan istrinya, betapa dewasa istrinya dalam menghadapi suaminya dan anaknya, betapa taat ia pada agamanya, serta betapa rajin istrinya ke gereja untuk beribadah. Meskipun berbeda agama, istrinya juga kerap menyuruh suaminya untuk sembahyang jama'ah di masjid dan ia juga menyuruh anaknya untuk mengajarkannya agama islam, agar saat dewasa ia bisa memilih agama apa yang dianutnya. Ia mengajarkan Erin sembahyang, puasa, dan berdoa sesuai agamanya. Untuk itulah Erin tak mau meminum alkohol atau memakan babi. Aku juga baru tau jika Erin juga ikut berpuasa bersama ayahnya setiap Ramadhan. Erin percaya keduanya agama yang benar dan dalam hatinya masih ada kebimbangan di hatinya untuk memilih. Ia percaya pada agama ayahnya begitu juga ibunya. Tapi ia masih tak yakin untuk memilih. Erin yang memang lebih dekat dengan ibunya lebih banyak diajarkan agama kristen ketimbang islam.
YOU ARE READING
Miracle do Exist
Teen FictionGavin adalah seorang pemuda yang sudah menyerah dalam hidupnya, sampai ia bertemu seorang gadis bernama Erin yang membuka matanya bahwa keajaiban itu ada.