27

2 0 0
                                    

Desember 2017. Aku benar-benar sudah pasrah kali ini. Tidak ada mukjizat datang kepadaku. Aku hanya bisa menunggu hal ini berakhir dan kapan aku akan mati nanti. Jadwal Check up ku diperpadat menjadi 1 minggu sekali. Untunglah Aldian bisa membayar semua kunjungan dokter dan semua obat yang ku konsumsi. Aku sudah berhenti mengunyah tembakau lama sejak kesehatanku makin memburuk. Kerap pusing dan kerap mual itulah yang aku rasakan. Terkadang aku bisa sehari penuh tidur di rumah karena aku stress dan sedih atas semua ini. Aku benar-benar pasrah kali ini. Aku tak bisa apa-apa. Aku tak mau menyalahkan Tuhan sekali lagi. Sudah cukup. Hidupku sudah menuju bab terakhir. Sudah tak bisa kuapa-apakan lagi. Tak bisa kuperpanjang lagi. Aku hanya ingin meninggal secepat mungkin.

Erin yang baru saja libur kuliah, langsung pulang dari Amerika untuk menemuiku. Ia yang baru saja pintar membuat dessert kerap memasakanku banyak makanan enak. Kesukaanku tentunya Tiramisunya yang sangat sedap.

Suatu hari aku hanya diam terduduk ketika ia datang. Ketika itu aku hanya melamun, menatap kasur, dan merenungi nasibku. Ia yang mengetahui aku sedang sedih langsung memberikan pelukan kepadaku. Aku hanya menurut kepadanya selagi ia menarik kepalaku ke dadanya. Disitu aku langsung menangis, membasahi bajunya.

"Everything will be okay Vin," ujarnya menenangkanku.

Aku hanya diam dan terus menangis, mengasihani diriku ini. Diriku yang lemah, tak bisa apa-apa. Keajaiban dari Tuhan mungkin tak datang. Tapi Tuhan memberikanku kehidupan yang menyenangkan. Aku bisa mengingat setiap momen dari aku kecil hingga dewasa. Semua orang yang yang kucintai, semua yang kusayangi. Mereka terlukis di benakku.

Erin kemudian membelaiku dan ia dengan spontan mencium bibirku. Saat itu sudah masuk Januari 2018 dan aku tahu, aku mungkin akan masuk rumah sakit dalam beberapa hari atau minggu. Erin kemudian memakaikanku topi kesayangannya. Topi hitam bertuliskan huruf B di depannya untuk Boston Red Sox. Topi yang mungkin tak akan pernah kupakai lagi nantinya.

Hari itu Erin tertidur di lenganku. Dengan perlahan aku melepaskannya dan pindah tidur ke sofa ruang tamu. Hari itu mungkin hari terakhir aku bersamanya karena ia harus ke Amerika lagi besoknya. Aku memandang wajah cantiknya dan membelainya, serta mencium pipnya mungkin untuk terakhir kalinya. Hari itu ia baru saja menangis. Ia ingin berada disini bersamaku seumur hidupnya. Tapi tak bisa. Tak mungkin bisa. Hanya aku yang bersamanya seumur hidupku.

Paginya, Erin pamit ke keluargaku karena mau menuju bandara. Sebenarnya pesawatnya berangkat di malam hari. Tapi karena aku punya jadwal dengan dokter hingga malam di hari itu, ia memilih untuk pamit di pagi hari. Sehabis itu aku bersiap-siap ke kamar mandi dan mengganti bajuku, serta meminum obat.

Dalam perjalanan menuju mobil, aku merasa kepalaku pusing dan mual sekali sehingga aku terjatuh di depan mobil. Kesadaranku hilang dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu.

Miracle do ExistWhere stories live. Discover now