20

1 0 0
                                    

Sudah satu bulan aku tak sekolah dan ibuku tak marah akan hal itu. Aku tak berkunjung ke makam ayahku sejak pemakamannya dan aku juga tak ikut pengajian untuk memperingatinya. Canduku terhadap tembakau kunyah dan snus semakin parah dan aku mungkin akan menghisap ganja jika hal itu legal disini. Also, setiap hari aku makan dan minum gula. Mau itu kopi, teh, atau sirup, semua minumanku harus manis. Kurasa aku kecanduan gula juga.

Hal itu membuatku naik berat badan sedikit di akhir tahun ini, dan tidak..., aku tidak bertambah gendut. Aku hanya tambah tinggi dan makanku bertambah banyak. Which is good for me. Meskipun hal itu merupakan salah satu ciri orang depresi. Yap, aku mungkin depresi. Tapi itu bagus buatku, karena sahabatku semakin memperhatikanku. Ia sudah terbang ke Amerika lagi untuk syuting.

Erin dan aku sering berbagi lagu, berbagi film, terkadang kita saling menelpon hingga larut malam. Entah bagaimana bisa hal itu menjadi rutinitas kita. Tapi setidaknya kami menikmatinya.

Ibuku masih berduka sehingga mambuat Aldian khawatir. Tentu dari yang kulihat ibuku masih mencintai ayahku. Aldian tak bisa menghiburnya dan aku pun masih mengurus masalahku sendiri. Mentalku ambruk sejak hari itu dan bpd ku tambah parah. Kadang aku meracau di rumah ataupun berteriak-teriak sendiri. Aku masih belum sembahyang dan masih marah kepada Tuhan. Al-Quran tak pernah kusentuh lagi. Sajadah hanya terlipat di kasur dan badanku tak suci lagi karena tak pernah wudhu.

Semangat hidupku belum pulih lagi. Tugas sekolahku pun terbengkalai. Aku sungguh frustasi. Sungguh tak kuat untuk menerima ujian kehidupan lagi. Sungguh ingin meninggalkan tubuhku. Karena aku sakit, pusing, tak bisa ikhlas, serta belum bisa menerima semua ini. Kadang aku bearmimpi tentang ayahku. Rinduku padanya tak terbatas. Kadang aku berharap ia muncul disampingku dan memelukku.

Aku memang benci ayahku. Aku benci sifat-sifatnya. Sombongnya maupun galaknya. Aku benci semua itu. Tapi aku tetap mencintainya. Ibuku pun juga begitu

Suatu malam, aku pergi ke kamar ibuku dan ingin tidur padanya. Aku rindu padanya. Terlalu lama ia berduka. Terlalu lama ia menyendiri dan meninggalkanku sebagai anaknya. Wajar saja, ia baru saja kehilangan laki-laki yang ia cintai.

Apakah damai disana yah? Apakah ada kebahagiaan di surga? Aku, anakmu, ingin segera menyusulmu. Tapi kenapa malaikat maut tak cepat-cepat mencabut nyawaku? Tugas apa lagi yang harus kulakukan di dunia. Aku sudah kehilangan harapan, iman, dan baru-baru ini kehilangan seorang ayah. Dosaku pasti banyak sekali. Hatiku pasti kotor sekali. Aku tak peduli.

Aku tak punya harapan apa-apa lagi untuk hdiup di dunia ini. Dunia ini keji. Kejam. Tak adil. Aku tak tahu harus apa lagi. Anakmu masih butuh sosok ayah, yah... Anakmu masih butuh kehidupan. Anakmu tak kuat menghadapi semua ini. Anakmu sekarang ini putus asa. Apa yang harus dilakukan yah... Aku tak tahu.

Tahun 2016. Aku bahkan belum berangkat sekolah. Erin sudah pulang dan Januari akhir ia sudah harus berada di Amerika lagi untuk promosi filmnya. Om Adam kemarin membuat pesta perayaan debut Erin di dunia perfilman. Yang diundang hanya keluarga Om Adam dan teman-teman dekat Erin.

"Hei," panggil Erin saat di pestanya. Ia memakai kaos karena itu hanya pesta keluarga biasa. Ia lalu duduk bersamaku di bangku teras. "Kau tahu apa yang kurindukan di Amerika?"

"Apa?" tanyaku sambil meminum sodaku.

"Kamu." Untuk sesaat aku tersedak mendengar hal itu. Lalu aku mengamati Erin. Rambutnya sudah panjang hitam dan tak ada warna semiran lagi. Aku tersanjung dengan pick up line-mu Rin. Erin lalu mencium pipiku dan kubiarkan hal itu. Lalu ia masuk ke rumah dengan memberikan senyuman manis.

Sekarang ini aku bahkan tak tahu hubunganku dengan Erin itu seperti apa? Kami tidak pacaran dan buka sepasang kekasih. Lalu kenapa kami kerap bermesraan. Semenjak hari ia mengecupku di rumahku, kami sering menghabiskan waktu bersama, lebih sering dari waktu dulu. Kita biasa menonton film, makan di angkringan, ngopi bareng, bahkan kemana-mana kami bersama. Of course, Erin memakai masker saat bepergian. Ia tak mau berita gosip heboh dengan berita dirinya berjalan bersama temannya.

Sejujurnya aku tak mau ini terjadi. Tapi kenapa aku membiarkannya? Membiarkannya mengecupku dan memelukku. Kurasa aku hanya kesepian karena kepergian ayahku. Ibuku bahkan berduka sendirian selama berbulan-bulan. Keuangan makin menipis dengan meninggalnya ayah. Gaji ibu tak cukup untuk memberi makan kita berdua, membayar pajak, dan lainnya.

Ibu lalu memutuskan untuk menjual rumah ayah yang harusnya diwariskan padaku. Tapi sebelum itu terjadi, Aldian melamarnya. Ia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih pasti di sebuah perusahaan gim. Aldian memprogram gim disana, dan berita bagusnya tujuh puluh lima persen pekerjaannya bisa dilakukan di rumah, kecuali dengan rapat atau sebuah event. Itu membuat Aldian harus kerap bolak-balik jakarta-jogja. Mungkin empat sampai lima kali dalam sebulan. Bisa lebih.

Ini menjadi berita bagus buat ibu. Karena ibu tak lagi harus memikirkan keuangan keluarga dan ia mungkin harus tak bekerja lagi. Beberapa bulan lagi mereka akan menikah dan kakek serta nenek sudah merestui mereka. Selama tiga bulan itu ibuku semakin sibuk. Mengurus undangan, menyewa hotel, menyewa pakaian, menyiapkan katering, dan sebagainya. Itu membuatku semakin kesepian, karena semenjak ayah meninggal ibu belum pernah satu malam pun benar-benar memperhatikan anaknya.

Tapi aku hanya sabar, berharap setelah ibu menikah nanti hidup kita berubah. Berharap aku berubah dan tak kesepian lagi. Berharap aku pulih dari depresiku.

"Emang kau siap punya anak dua?" tanyaku ke Aldian suatu hari di rumahnya.

"Ya... siap nggak siap sih. Lagian aku belum punya pengalaman mengurus anak."

Benar. Aldian adalah laki-laki bujangan yang belum pernah pacaran kecuali dengan ibuku. Apalagi punya anak. Ia saja masih tinggal bersama orangtuanya. Aku tidak yakin ia benar-benar siap untuk mengurus anak-anak tirinya nanti.

Sementara hubunganku dengan Erin menjadi lebih erat seiring waktu. Kita sering bersama dan ia selalu menghiburku. Sampai suatu hari ayah Erin, Om Adam kecelakaan. Masih bisa tertolong. Tapi ia koma. Ia tertabrak mobil saat mengendarai motor di sepanjang jalan lingkar lalu terlempar sejauh lima meter. Helmnya copot dan kata saksi mata kepalanya terbentur aspal dengan sangat keras. Om Adam gegar otak parah saat ini dan aku serta Erin tak tahu ia akan sadar kapan.

Ia menangis seharian di rumahnya, sementara aku terus memeluknya untuk menenangkannya. Hari itu Erin minta ditemani untuk tidur, jadi setelah menelepon ibuku. Aku terus memeluknya hingga terlelap. Aku berharap kita bisa begini selamanya Rin. Tapi aku tahu itu takkan mungkin terjadi, karena setelah aku mati, kau mungkin akan menemukan seseorang yang lebih dariku. Lebih tampan dariku. Bahkan lebih mencintaimu. Aku juga berharap kau tahu kalau aku adalah seorang pengecut yang tak pantas bagiku.

Selama Erin sedih, aku menemaninya. Seperti ia menamaniku pada saat aku depresi sepeninggal ayahku. Aku membuatkannya makanan, menamaninya, atau membantunya mengerjakan tugas Ia benar-benar stress saat ini karena belum ada kepastian dari dokter kapan ayahnya akan sadar. Semua wawancara untuk perilisan filmnya pada bulan Juli ia tolak. Ia bahkan tak menghadiri acara perilisan trailer filmnya.

Filmnya memang tak se-booming yang ia harapkan. Tapi hampir banyak orang menantikannya. Peran Erin sebagai karakter pendamping telah mencuri perhatian media massa sebagai aktris yang baru saja debut di film pertamanya. Ketidakhadirannya di konferensi pers pada hari perilisan film disayangkan banyak orang.

Erin sungguh tak mau melakukan ini semua. Ia sungguh sedih. Ia tak mau kehilangan ayahnya setelah ia kehilangan ibunya. Belum ada kepastian tentang ayahnya. Membuatnya depresi total. Ia tak pernah keluar kamar, bahkan tak pernah bersosialisasi. Untungnya aku ada disana, sebagai sahabatnya.

Miracle do ExistWhere stories live. Discover now