17

1 0 0
                                    

Erin pulang ke Amerika setelah lebaran seperti janjinya. Membuatku semakin menganggur di rumah seperti biasa. Tak ada kerjaan. Tak ada sekolah. Piring menumpuk di wastafel. Ibu tidak bekerja. Apa yang akan kulakukan hari ini? Ingin ke rumah Aldian tapi mau ngapain disana.

Ahmad menelponku, ia mengajakku ke rumah kakak temannya hari ini. Ia seorang mahasiswa semester 7 di AMIKOM. Jago desain katanya. Aku menurut saja dan menunggu jemputan Ahmad. Rumahnya berada di dekat bandara. Lumayan besar, tentu ia berasal dari keluarga mampu.

"Vin, kau disana diam saja ya, aku soalnya naksir adiknya," ujar Ahmad di motor.

Aku tak peduli Mad, kau naksir adiknya atau tidak. Aku berterimakasih kau telah mengajakku lari dari kebosananku di rumah.

Aku mengetahui jika kakaknya bernama Varen dan adiknya bernama Vlora. Kenapa huruf depan nama mereka V semua ya? Aku hanya menggaruk-garuk kepala mengetahui rencana Ahmad untuk mendekati teman sekelasnya lewat kakaknya. I mean, keluarganya sangat religius dan ia sendiri dulu menolak pacaran. Ahmad bilang ia sudah dapat ijin kakaknya untuk mendekati Vlora. Oh my gosh Ahmad, kau mengapa malah mendekati kakaknya bukannya Vlora-nya.

Vlora tinggal di kamar atas dan kakaknya di kamar bawah. Aku, Ahmad, dan kak Varen berada di teras berbincang. Tiba-tiba saja seorang gadis kecil ramping keluar dari rumahnya bergabung dengan kami. Wajahnya...ya bayangkan saja seperti Pevita Pearce deh, soalnya mirip. Asli mirip. Rambutnya panjang dicat coklat seluruhnya.

Ahmad yang dari tadi bicara sekarang diam saja. Malu. Terpesona. Atau mungkin mabuk cinta. Atau bisa saja ketiganya. Siapa yang tak terpesona dengan gadis macam itu Mad. Untuk membunuh kecanggungan Ahmad aku tanya-tanya kak Varen soal kuliah di AMIKOM dan juga soal desain komputer. Ia menjelaskannya dengan sangat rinci soal kuliahnya dan soal mendesain.

Aku bertanya ke Vlora soal kehidupannya dan sekolahnya yang membuat Ahmad gigit-gigit jari. Ia menceritkan jika ia suka menulis dan membaca buku. Ia tak suka bermain gim dan merupakan penggemar Dee Lestari. Kami akhirnya bertukar pendapat soal mana buku Dee Lestari yang lebih bagus dan patut dibaca. Ia juga bercerita soal sekolahnya, hobinya, selera musiknya, dan juga kehidupannya. Entah mengapa ia begitu terbuka padaku.

Lalu aku dan kedua bersuadara itu bertukar nomor telepon setelah mereka mengajak makan siang dan Vlora bilang ingin bertemu dengan Erin yang tadi kuceritakan sedikit. Tapi aku tak mengira Ahmad akan cemburu padaku karena aku banyak mengajak Vlora mengobrol.

"La koe sih, gak mau ngajak ngobrol, yowes, aku duluan to," ujarku di motor ketika pulang.

Ahmad memang seorang pria yang pengecut di depan gadis, apalagi kalo ia menyukainya. Ia akan tergagap ketika berbicara bahkan kesulitan mencari bahan obrolan. Memang Ahmad populer di kalangan wanita. Tapi ia payah dalam hal itu.

Aku ingat ketika ia adalah seorang anak SD yang digemari cewek-cewek. Ia kewalahan menghindarinya. Hingga salah satu cewek mencium pipinya ketika upacara. Ahmad berkali-kali melapnya dengan tisu basah.

Juli 2015, Erin sudah pulang ke Indonesia. Ia sudah kukenalkan dengan Vlora dan kakaknya setelah kuberi nomor mereka. Aku yakin, kakaknya naksir kepada Erin karena kulihat pesannya di hp Erin penuh dengan... lupakan, aku tak bisa mendeskripsikannya. Sementara Ahmad yang kubantu dalam hubungan asmaranya kali ini selangkah lebih maju dari bulan lalu.

"Kau yakin tak menerima Erin? Dia bilang masih menyukaimu lho!" ujar Ahmad di rumahku.

Aku hanya menggeleng menatap layar laptopku. Ada hal lain yang kufokuskan bulan ini. Aku sudah mengirim tulisan ku ke banyak penerbit tapi dari dulu semua menolaknya. Akhirnya aku mengunggahnya ke layanan situs web untk membaca dan memplubikasi tulisan secara gratis.

Miracle do ExistWhere stories live. Discover now