Teng tong teng tong teng tong, bunyi gamelan itu memenuhi lapangan, memekakkan telinga. Sang dalang sedang menceritakan sebuah lakon berjudul abimanyu gugur. Lakon favoritku. Kubisikkan terjemahan-terjemahan dari perkataan si dalang ke gadis cantik nan mempesona di sampingku. Sementara sang dalang berteriak-teriak ketika Abimanyu masuk ke pertahanan Kurawa, formasi cakrabyuha yang sulit ditembus bahkan oleh Bima sekalipun. Gadis itu senag melihatnya. Lalu ia menangis ketika melihat sang lakon gugur di tangan para Kurawa. Hal itu membuat Kresna sedih dan Arjuna, ayah dari Abimanyu geram. Para Punakawan serta Pandawa bersedih mengelilingi Abimanyu yang sudah tak bernyawa.
Aku lalu menghibur gadis itu agar tak sedih dan kuceritakan lanjutan epos Mahabharata hingga tamat.
"Maklum, kau tak pernah mendengar cerita wayang di Amerika Rin," ujarku sambil memijit kakiku yang pegal kelamaan duduk lesehan. Erin hanya tersenyum mendengar hal itu.
Iya Rin, sekarang aku mungkin akan berani. Berani membuka hatiku. Berani jujur. Mungkin tak takut lagi. Tak pengecut lagi. Aku ingin bersamanya hingga akhir hidupku nanti. Aku ingin ia tak meninggalkanku lagi. Jika bisa, aku ingin bersamanya hingga tua nanti. Tak ada lagi memendam rasa. Tak ada lagi sakit hati. Nikmati saja keadaan ini.
Erin sudah kembali. Ia belum sibuk lagi. Aku ingin menikmati saat-saat ini bersamanya. Aku tak ingin menyesal lagi. Cukup. Cukup aku menyakitinya sekali saja. Tidak ada lagi yang harus kutakutkan. Tidak ada lagi alasan.
Ini hidupku dan aku yang menentukan bagaimana hidupku. Bukan orang lain. Tapi takdirku tetaplah ditentukan oleh Allah. Kapan aku mati. Siapa jodohku. Semua ditentukan oleh Allah. Aku memilih untuk percaya jika Ia akan memberikanku keajaiban. Aku memilih untuk percaya dan menyerahkan semua hidupku pada-NYA. Tidak ada lagi penyesalan. Yang hanya adalah Ikhlas dan tabah.
Aku tau cobaanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang lain. Cobaan yang diberikan ke pundakku hanyalah sementara. Tak akan lama. Ada hidup abadi di akhirat nanti, dimana tak ada ujian atau musibah lagi yang diturunkan pada manusia. Dimana tak ada lagi nasib buruk.
Aku sudah bertobat, sudah sembahyang lagi. Tak lagi menyalahkan Tuhan. Aku benar-benar minta ampun kala itu. Tamparan keras sudah diberikan padaku dan untunglah aku sadar. Ada banyak orang yang lebih sengsara daripada aku. Para korban perang, anak-anak yatim piatu, para pengidap kanker, dan sebagainya.
Sekarang aku bersyukur dan berharap lebih baik lagi kedepannya. Aku bersyukur, aku masih hidup. Aku bersyukur diberikan sahabat yang perhatian ini. Aku bersyukur dan ikhlas. Semoga dengan aku bersyukur dan ikhlas ini, aku mendapatkan hidup yang lebih baik lagi.
"Jika kau bisa meimilih dimana kau hidup di dunia ini, kau memilih dimana?" tanya Erin pada suatu malam.
"Mungkin Swiss atau New Zealand, aku suka tinggal di yang sepi dan banyak padang rumputnya atau di perbukitan," ujarku.
"Oh ya...? Aku lebih suka pantai sih, mungkin di pinggiran Amerika atau di kepulauan Karibia, aku lebih suka tempat yang ramai sih..."
God, Aku suka sekali padang rumput. Aku ingin sekali tinggal di tempat itu. Hijau, dekat perbukitan, dan mungki dekat danau. Aku ingin sekali tinggal di tempat yang tak terlalu padat, silir, dan juga hijau. Mungkin perbukitan di Eropa akan cocok. Tapi itu semua hanya mimpi. Mimpi yang bisa membuatmu tersenyum. aMimpi yang bisa membuatmu melupakan pahitnya dunia ini.
Oh ya, dunia ini pahit. Tidak ada yang adil. Banyak keserakahan di dunia ini. Banyak orang dzalim. Banyak kesombongan. Satu-satuny jalan keluar dari semua masalah manusia adalah pengadilan akhirat. Disitu terdapat keadilan. Orang serakah akan terpanggang, sementara orang yang beriman akan masuk surga.
Apakah Erin orang beriman? Secara teknis ya... Ia sering ke gereja. Tapi aku tak tahu, dimana ia akan ditempatkan di akhirat. Ia orang baik dan kuharap ia akan masuk ke tempat yang lebih baik. Tuhan tidak akan memasukkannya ke tempat yang buruk kan?
Aku tidak tahu pastinya, tapi aku tahu Erin adalah orang yang berhati lembut dan bersih. Ia tidak pernah membantah ayahnya, tidak pernah berzina, berbohong, atau melakukan dosa yang lebih buruk dari hal-hal itu. Ia adalah seorang yang polos dan bermimpi tinggi.
Ayahnya pun tak pernah menyesal menikahi ibunya, meskipun berbeda agama maupun tak direstui orang tuanya. Ia tak pernah menyesal ketika ditinggal istrinya karena kanker di otaknya. Ia tak pernah menyesal menghabiskan waktu bersama istrinya walaupun hanya sebentar. Ia tak pernah menyesal harus menemaninya berhari-hari di rumah sakit di saat ia sakit. Ia hanya bersyukur sudah dikaruniai istri cantik dan anak yang hebat. Tak ada penyesalan, hanya bisa sabar dan menerima.
Erin sudah tak sedih lagi bisa bersamaku. Aku menerima cintanya. Menerima ia masuk ke hidupku. Menerima ia sebagai lebih dari teman, lebih dari sahabat. Aku hanya ingin menikmati sisa hidupku dengan keluargaku maupun dengan Erin. Meskipun Erin tak pantas untukku. Meskipun hanya sebentar denganku. Ia juga ingin menikmatinya. Ia tak ingin memendam rasa suka lagi. Ia tak pantas untuk menerima sakit hati. Ia menyukai ku apa adanya dan ia berjanji tak akan menyesal setelah aku pergi nanti.
Aku tahu, Erin mempunyai sifat posesif yang amat berlebihan. Kadang ia khawatir jika aku tak menjawab pesan atau teleponnya. Ia bahkan akan mencariku ketika ia sedih dan ia akan memintaku memeluknya. Sebetulnya aku ingin bersifat skeptis terhadap sifat posesifnya. Tapi rasa empatiku menolak hal itu. Aku menurut jika ia minta peluk. Aku menerima jika ia minta untuk ditemani.
Tapi aku masih takut untuk menyukainya. Aku berani menerimanya, tapi aku tak berani untuk maju. Semakin aku menghindar malah semakin ia mendekat. Aku frustasi tentang hal itu. Aku ingin menyukainya, tapi aku takut. Jika ia sedih, rasa takutku akan menghilang dan rasa empatiku akan keluar. Aku ingin menyelamatkannya, melindunginya, dan membuatnya nyaman.
Erin tahu jika aku kadang menghindarinya, takut menyukainya, dan ingin menghindarinya. Erin bahkan tahu, aku kadang skeptis dengan sifat posesifnya. Itu membuatnya semakin posesif, semakin mendekat padaku. Aku tak bisa menghindar, jadi aku hanya menerimanya.
Erin mempunyai banyak cara untuk membuatku tak takut lagi. Kadang ia menggenggam tanganku sambil menatapku dalam-dalam atau ia akan memelukku dengan lembut. Perasaan Erin terhadapku bukan suka lagi, ia mungkin sudah jatuh cinta sekali denganku, dan aku tak bisa menghindarinya, karena aku mempunyai sifat rendah hati. Aku tak mau melihat orang yang aku sayangi sedih lagi.
Sampai suatu hari, aku menerima Erin, melawan rasa takutku. Aku bilang kepada Erin bahwa aku menerimanya hari itu. Kita resmi jadian dan ia spontan menciumku sebelum ia melompat-lompat kesenangan. Aku hanya melongo melihat nya lari-lari bahagia. Aku tak menyangka jatuh cinta membuatnya dari pendiam menjadi hiperaktif. Semoga aku tak menyesali keputusanku ini.
Tapi itu malah merepotkanku, karena ia mempunyai asperger, ia menganggap kisah cinta, seperti Cinderella, Beauty and The Beast, atau bahkan Romeo and Juliet. Tapi aku pikir, ini seperti Hazel dan Augustus di The Fault in Our Stars, dimana Augustus adalah aku. Orang yang akan meninggal, meninggalkan pacarnya dan ia akan sangat sedih akan hal itu.
Aku frustasi dan tak mau meninggalkan Erin sendiri. Aku bermimpi akan kehidupan yang akan kita berdua jalani jika aku mempunyai umur panjang. Tapi itu tak akan terjadi. Hal itu mustahil terjadi. Kecuali ada keajaiban turun dan menyelimutiku, memberiku harapan untuk hidup lagi.
Aku diam, memandangnya. Wajah Erin yang cantik, mempesona, lebih indah daripada bidadari manapun. Aku mencintainya dan aku bersedih karena tak bisa berumur panjang. Aku takut meninggalkannya. Aku tak mau meninggalkannya. Aku ingin bersamanya.
Aku menangis. Erin tak tahu kenapa aku menangis. Ia hanya memelukku, memberiku rasa nyaman, memberiku belaian di kepala. Aku mungkin tak berumur panjang, tapi aku akan menikmati hal-hal ini bersamanya walaupun hanya sebentar.
YOU ARE READING
Miracle do Exist
Teen FictionGavin adalah seorang pemuda yang sudah menyerah dalam hidupnya, sampai ia bertemu seorang gadis bernama Erin yang membuka matanya bahwa keajaiban itu ada.