"No, wait! Haruto kenapa, Jihan?!" Begitu pintu tertutup, Wonyoung melepas paksa rangkulan Jihan. Ia menatap tajam perempuan itu, menunggu jawaban yang sebenarnya.
"Wonyoung, kamu inget kata-kata kamu yang tadi, 'kan?" tanya Jihan. Perempuan itu menyandarkan tubuhnya ke pintu, khawatir akan didobrak dari luar. "Kita harus bisa bodo amat supaya gak lengah, sekarang kamu juga harus lakuin apa yang kamu bilang, ya?"
Air mata mulai menetes membasahi wajah Wonyoung. "Haruto kenapa ... Jih?" tanyanya dibarengi isak tangis yang seketika muncul.
Dua perempuan itu mendengar langkah kaki yang ribut dari arah tangga. Teman-teman mereka yang berjuang di kantin tadi berlari menghampiri mereka berdua. "Kalian gapapa?" tanya Jay dengan napas yang tersengal.
Wonyoung dan Jihan kompak mengangguk. "Di luar masih ada satu orang lagi, Kak," ujar Jihan penuh cemas.
Dengan pedang di tangan, Yujin berjalan maju. "Gue siap. Minggir, Jih," perintahnya singkat. Ia membuka pintunya, mendapati tubuh Haruto yang terbaring lemas dengan darah yang menggenang, serta si tudung hitam yang berdiri tepat di depan tubuh lelaki itu.
Tidak sempat untuk memekik kaget, Yujin mengeratkan genggamannya pada pedangnya. Ia menajamkan sorot matanya. "Kak Jake! Bawa Haruto ke pinggir!" perintahnya sebelum berhadapan langsung dengan si tudung hitam.
Minhee terbaring di dekat Jihan dan Wonyoung, tidak bisa dipungkiri kalau tenaganya terkuras habis di misi kali ini. "Itu kantin di bawah udah kayak lautan sirop marjan," ujarnya sembarangan. Tangannya berusaha menyeka noda darah yang terlihat menyeramkan di wajahnya.
"Taeyoung mana?" tanya Minhee.
"Kak Taeyoung kan ... di bawah, Kak," jawab Jihan lesu.
Sontak Minhee merubah posisinya menjadi duduk. "Hah! Kok gue gak liat dia dari tadi? Wah tu anak masih demen aja di bawah," ujarnya lalu hendak kembali ke kantin untuk membawa Taeyoung ke rooftop.
Jihan menahan lengan Minhee. "Gak usah, Kak."
"Kenapa?"
"Kak Taeyoung gagal ngelawan tudung hitam tadi, dan ... mungkin Kak Minhee gak liat karena dia nyaru sama yang lain."
"Ah ...." Minhee melemaskan ototnya dan kembali terduduk. Ia mengacak rambutnya frustrasi, untuk menangis saja rasanya tidak bisa karena perasaannya yang campur aduk.
Tak lama Jake tiba membawa Haruto yang sudah lemas karena luka besar akibat pedang di bagian perutnya. Sontak Wonyoung terduduk lemas memandangi kekasihnya. Tangisnya pecah, ia membiarkan Haruto terbaring di atas pahanya.
"Babe ... kamu masih di sini, 'kan?" tanya Wonyoung, tangannya sibuk mengelus pelan wajah kekasihnya. "Kenapa harus kamu? Harusnya aku aja yang pergi, harusnya aku aja yang—" Kalimatnya terhenti. Tidak sanggup lagi melampiaskan perasaannya dengan kalimat.
"Kita harus keluar dari sini bareng-bareng, Babe. Masa aku doang? Jangan tinggalin aku sendirian." Wonyoung menautkan jari jemarinya dengan Haruto. Berusaha meyakinkan dirinya kalau lelaki itu belum pergi. Sayangnya, tanpa ia sadari, bulatan biru di pergelangan tangan lelaki itu sudah memudar.
Wonyoung memekikkan nama Haruto berkali-kali, memohon agar lelaki itu tetap bersamanya hingga permainan selesai. Ia memeluk erat tubuh kekasihnya yang tak berdaya itu, mengabaikan darah yang mulai mengalir menodai rok perempuan itu.
Yujin yang baru saja selesai menghabisi tudung hitam yang terakhir berdiri tepat di belakang Wonyoung, berusaha menahan air matanya. Ia paham betul apa yang Wonyoung rasakan.
"Misi terakhir dimenangkan oleh Tim Biru yang lebih banyak membunuh para bayangan. Semua pemain silakan berkumpul di lapangan bawah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Évasion
FanfictionSelamat datang di permainan Évasion. Hanya orang-orang bernyali besar yang mampu menjalankan semua misi dalam permainan ini dan hanya orang tertentu yang bisa menyelesaikan permainan ini dan kembali hidup bebas. Dari mana permainan ini berasal? Enta...