Siang ini Arin sudah cantik. Ia memakai gaun simpel dengan panjang di bawah lutut pas. Penampilannya sangat manis dan imut.
Di tangannya ia sudah membawa bekal untuk Digtya. Ia sudah berdiri di halte baru saja turun dari bus. Untuk pergi ke studio foto milik Digtya, Arin harus naik taksi. Ia berjalan ke pinggir jalan untuk memanggil taksi. Sayangnya tidak ada satu taksi pun yang datang, Arin mendengus kesal.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Aska? Batin Arin. Ia mengenal suara itu dan itu adalah suara Aska.
Spontan Arin berbalik ke belakang dan melihat Aska berdiri menghadapnya. Arin sempat tertegun sebentar.
“Aku...”
Arin menggeleng pelan lalu memberikan senyum terbaiknya. “Aku membawakanmu makan siang.”
Senyum Arin menular sampai ke wajah Aska. Pria itu langsung menerima bekal tersebut. Sementara Arin melihat bekal itu dengan kecewa.
“Seharusnya itu untuk Digtya.” Batin Arin.
“Aku ada beberapa pekerjaan di luar. Bagaimana jika kamu menemaniku makan siang di sana.”
Arin menoleh ke sebuah tempat yang Aska tunjuk. Sebuah taman kecil. Tidak ada hal lain lagi yang bisa Arin lakukan selain menyetujuinya. Dalam waktu singkat, dirinya dan Aska sudah berada di atas salah satu bangku di sudut taman. Arin merasa agak kikuk.
“Kamu baik-baik saja?” Aska kembali memulai pembicaraan.
“Ya. Apakah makanannya enak?”
“Ini sangat enak tapi tumben ini tidak pedas.”
Kening Arin menjadi berlipat-lipat. Dirinya sama sekali tidak mengerti apa yang Aska katakan. Menit berikutnya ia baru saja menyadari selera Aska dan Digtya sangat berbeda.
Aska lebih menyukai makanan pedas sedangkan Digtya cenderung menyukai makanan yang gurih dan cenderung manis.
Dan saat ini Aska makan makanan yang memang dikhususkan untuk Digtya. Jelas saja itu tidak seperti seleranya.
Arin memandang wajah Aska sekilas lalu tersenyum getir dan segera menunduk memikirkan jawaban untuk Aska.
“Di rumah persediaan cabai habis jadi aku memasak makanan yang cenderung gurih dan manis.”
Aska menghabiskan makanannya sampai tak tersisa, bertepatan itu pula ia mendengar ponselnya berbunyi nyaring. Pria itu mengambil ponsel dari dalam saku celananya.
“Aku harus pergi sekarang!”
“Ya, pergilah.”
“Aku akan menyuruh orang untuk mengantarmu kembali ke rumah.”
“Tidak usah.”
Arin langsung mengoreksi perkataannya setelah melihat reaksi Aska memandangnya.
“Maksudku, aku ingin berjalan-jalan sebentar. Jadi jangan suruh orang untuk mengantarku. Aku akan pulang sendiri.”
Aska mengangguk mengerti. “Baiklah. Telepon aku segera jika terjadi sesuatu.”
“Baiklah. Selamat bekerja,” ucap Arin saat mendapatkan kecupan dari Aska di keningnya.
Gadis itu mengamati Aska sampai pria itu memasuki mobilnya dan berlalu pergi.
Arin buru-buru mengambil kotak makanannya yang kosong di kursi makanan.
“Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?”
Otaknya berpikir keras sampai ia mendapatkan sebuah ide.
“Sebaiknya aku beli makanan saja dan menaruhnya di sini. Seolah-olah bahwa itu adalah masakanku. Arin, kamu memang Jenius.”
Arin memuji dirinya dengan bangga. Gadis itu pun meninggalkan taman.
Hampir tiga puluh menit. Arin pada akhirnya sampai di tempat tujuan yang sebenarnya. Arin memandang orang-orang yang tengah berlalu lalang.
Ia sampai pada sebuah ruangan dimana lampu flash ada dimana-mana. Arin memandang pria tampan yang sedang berpose di depan kamera. Baju yang dia kenakan sangatlah menambah kharismanya. Sangat cocok dengan dia yang berperawakan tinggi dan mempunyai tubuh tegap.
“Tontonan yang menarik!” Bisik Digtya.
Arin terlonjak karena terkejut. Ia langsung menoleh ke samping dan mendapatkan Digtya di sana.
“Digtya.”
Digtya tersenyum manis dan mampu membuat hati Arin merasa damai.
“Aku senang kamu ada di sini. Ini adalah pertama kalinya kamu datang untukku. Ah, dan apa yang ada di tanganmu.”
“Oh. Aku membawakan makan siang. Maaf, aku sedikit terlambat memberikannya.”
“Tidak apa-apa. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan pekerjaanku. Kamu akan menungguku kan?”
“Huh?”
“Kamu tidak langsung pergi kan?”
“Tentu saja tidak. Aku akan menunggumu sampai selesai.”
“Itu bagus, aku akan mengambil foto Tuan Aska setelah itu akan selesai.”
“Foto Siapa?”
Arin langsung menoleh saat seseorang tengah menyambut kedatangan layaknya tamu agung. Bola mata Arin langsung membesar tatkala ia melihat Aska di sana.
“Dia adalah orang yang akan ku foto. Kamu tahu, dia adalah Presdir termuda dan terkaya.”
Arin langsung membalikkan badan membelakangi Aska agar pria itu tak melihatnya.
“Aku ingin ke toilet.”
Dan Arin menghilang di balik pintu. Ia segera kabur dari tempat itu.
“Bagaimana ini? Mereka berdua ada di tempat yang sama, di sini. Aku pikir, aku akan gila!”
Arin mengacak rambutnya frustrasi.
“Aku harus bersembunyi dari mereka.”
Arin segera pergi dan masuk ke salah satu ruangan. Ia berdiam di sana untuk beberapa saat.
“Apakah dia sudah pergi?”
Arin segera berdiri dan membuka pintu. Kepalanya ia julurkan untuk mengamati keadaan sekitar. Arin hendak melangkah keluar tapi ia membatalkan niatnya dan kembali memandang keadaan sekitar yang. Dengan kewaspadaan tinggi, Arin memberanikan diri melangkah dari tempat persembunyiannya.
“Astaga.”
Arin kaget mendengar nada pesan dari ponselnya sendiri. Ia membuka notifikasi pesan tersebut dan rupanya pesan tersebut dari Digtya.
Isi pesan tersebut mengatakan bahwa Digtya mengkhawatirkan Arin karena Arin tak kunjung kembali. Dia juga berpesan bahwa dia akan menunggunya di sebuah ruangan dekat dengan tangga.
Arin segera pergi ke tempat yang disebutkan Digtya. Setelah menemukan ruangan tersebut Arin berhenti di tempatnya.“Kanan atau kiri.”
Arin terlihat bingung karena harus dihadapkan dengan dua ruangan yang sama-sama dekat dengan tangga.
Setelah Arin memantapkan pilihannya. Ia dengan tergesa-gesa membuka pintu tersebut.“Uh.”
Arin berhenti di tempatnya dan menutup mulutnya.
“Bagaimana kamu tahu aku di sini?”
Dua manusia yang berada di ruangan tersebut tampak sama-sama terkejut.
“Itu...”
“Kamu merindukanku?”
“Ah, ya.”
Pria itu langsung menggandeng Arin, menuntunnya untuk keluar. Saat mereka berjalan melewati tangga dengan samar Arin melihat Digtya yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Apakah kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?”
“Ya.”
“Bisakah kita pulang?” Ia tidak memandang Aska, matanya terus tertuju pada Digtya yang semakin mendekat. Pria itu sedang berbicara dengan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have Two Husband's
RomanceDia mengatakan suamiku. Aku mempunyai dua suami. Bagaimana bisa? Apakah pria ini mencoba menipuku.