11. Seperti Penjahat

163 16 1
                                    

Jaguar Askara menghela napas perlahan. Ia sengaja mengambil perjalanan paling cepat demi bertemu dengan Arin. Begitu membuka pintu kamar, sebuah suasana yang aneh merebak. Arin duduk di atas sofa sambil memandangi sebuah foto dan Aska tidak tahu foto itu apa.

Aska membuka jasnya dan melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor yang ada di kamar mandi lalu mendekati Arin dan memeluknya.

“Apa yang kamu lihat sehingga tidak memperhatikanku?”

Di saat seperti ini Aska sama sekali tidak bisa mencegah gairahnya untuk bangkit. Ia ingin gadis itu berbaring telanjang di  atas tempat tidurnya. Sudah lama Aska harus berpuasa karena selalu bepergian.

“Lihatlah ini!” Arin berusaha menekankan suaranya dengan sedikit bertenaga.

Aska melepaskan pelukannya. Tangannya berusaha untuk meyakinkan dengan mengambil foto tersebut.

“Kamu terlihat tampan di sana bersama istrimu.”

Suara Arin terdengar agak sinis. Aska memandang wajah Arin tidak percaya. Istri? Arin kan? Atau…

“Bagaimana mungkin aku menikah dengan seorang pria beristri?” Arin terdengar menggerutu pelan. Ia mulai terlihat sangat kacau.
“Nana menemuimu?” desis Aska.

Aska menghela nafas berat. ia mulai merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus membela diri atau memberi penjelasan seperti apa. Yang di lakukannya hanya meletakkan foto tersebut.

“Aku baru saja membeli chese cake. “Makanlah!”

Aska berusaha mengeluarkan suara yang riang, ia berusaha untuk tidak menganggap Nana sebagai masalah.
Aska menyendok kuenya dalam ukuran besar dan menyodorkannya kepada Arin.

“Satu suapan saja, ini kue kesukaanmu kan?”

“Aku ingin bertanya satu hal kepadamu.” Arin bersuara. Ia seolah-olah sedang tidak peduli dengan usaha Aska untuk mencairkan suasana. “Apakah kamu mencintainya? Saat menikah denganku kamu mencintainya?”

Aska meletakkan sendoknya. “Aku tidak akan menikah denganmu jika aku tidak mencintaimu.”

Arin mendengus sinis. Mulutnya tidak mengatakan apa-apa lagi  dalam waktu yang lama.

“Pembohong.”

“Aku tidak berbohong. Aku…”

“Aku tidak ingin mendengar apa-apa. Kepalaku rasanya ingin terbelah. Sekarang aku mau tidur!”

Arin beranjak dari sofa dan berbaring di atas tempat tidur. Hati Arin  disesaki perih yang luar biasa. meringkuk semakin dalam, hatinya terasa pilu.

Aska yang melihatnya, ikut berbaring di samping Arin. Sampai akhirnya kaki-kaki mereka saling bersentuhan. Arin berusaha menjauhkan dirinya dan Aska mengikutinya. Sampai Aska merangkul erat Arin.

Aska menempelkan dagunya ke bahu Arin.

“Kamu marah padaku?”

“Menurutmu?”

“Aku bisa jelaskan. Aku...”

“Berhenti! Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun darimu.”

“Arin.”

Aska meniup leher Arin dan gadis itu menggeliat. Bagian terpenting dari tubuhnya sudah mengeras menusuk pinggul Arin, gadis itu bergerak berusaha menjauhkan pinggulnya.

“Kenapa harus aku? Kenapa kamu memilihku jika hanya menjadikanku yang kedua?”

Aska langsung membalikkan tubuh Arin agar menghadapnya dan langsung membungkam bibir Arin. Lidahnya langsung melesat ke dalam untuk meredam ucapan Arin yang tidak ingin Aska dengar.
Seakan terhanyut, Arin seakan menikmati permainan Aska sampai terdengar desahan pelan. Aska menggerakkan tangannya semakin ke bawah. Bagian paling sensitif yang seharusnya menjadi puncak permainan ini sudah sangat basah.

Aska  menginginkan Arin dengan seluruh jiwa raga tanpa disadarinya. Wanita itu bernapas dalam tempo yang semakin menggebu-gebu. Untuk sementara Arin melupakan masalahnya dengan Aska.

“Jika kamu marah, makilah aku sesukamu. Jika kamu marah padaku, berteriaklah di depanku. Jika kamu marah pukullah aku sesukamu. Jika kamu marah dan berdiam seperti ini. Itu malah menyiksaku. Tolonglah! Jangan memperlakukanku dengan cara ini.”

Arin memandang wajah Aska dalam. Pada akhirnya Arin bisa menahan getaran suaranya. Arin meledak dalam tangisannya.

“Setelah malam ini kembalilah ke rumah istrimu. . Kamu sangat penuh misteri, Aku tidak pernah bertanya siapa dirimu, tidak tahu siapa keluargamu dan juga tidak tahu kalau dirimu sudah beristri. Kalau aku sampai merebutmu dari istrimu berarti aku perempuan yang jahat.”

“Berhentilah mengatakan kalau dirimu adalah orang jahat. Satu-satunya yang jahat di sini adalah aku. Kamu tidak pernah merebutku dari Nana.”

Aska kembali berusaha mencumbu bibir Arin dengan liar, lidahnya bergerak dengan sangat erotis. Semuanya semakin intens saat Aska  melakukan belaian, remasan, cubitan.

Aska menekan bagian terdalam di pangkal paha Arin.

“Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu.”

Arin mendorong tubuh Aska menjauh dan kali ini Aska terlihat kecewa.

“Untuk saat ini aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu. Jadi mengertilah.”

“Baiklah, tapi biar lah tubuhku yang menjelaskan semuanya.”

Aska melakukan semuanya tanpa ragu sehingga Arin merasa luluh dan hancur. Aska tak pernah menghentikan gerakannya. Mereka terus berpacu dalam gerakan-gerakan yang erotis.

Beberapa kali erangan terdengar di sana. Keduanya sudah berganti posisi dan Arin sekarang yang mengambil kendali gerakan demi gerakan.

Arin masih berusaha terus bergerak meskipun tubuhnya mengejang dalam lenguhan panjang lalu berakhir di atas tubuh Aska dalam keadaan yang sangat tidak bertenaga. Malam yang tegang karena kemarahan mereka ubah dengan malam yang panas penuh cinta.

Dua napas menyatu dari tarikan yang terburu-buru sampai kepada helaan yang semakin mereda.

Sejak pertama, tubuh mereka tidak pernah berpisah, dan hingga saat ini bagian-bagian dari tubuhnya masih menyatu. Aska masih ada dalam dirinya, merasakan detakan di sana selama berjam—jam.

“Aku masih ingin bersamamu, masih tidak ingin berpisah. Bisakah kita begini terus sampai pagi?”

Arin mengangkat wajahnya dan menempelkan dagunya di dada laki-laki itu.

“Tidak! Aku masih marah denganmu.”

Kedua lengan Arin mencoba menopang tubuhnya untuk berdiri. Sebuah kekecewaan yang besar membuatnya merasa kalau menjauh adalah jalan keluar yang terbaik, dia akan pergi.

Aska menolak, Ia memeluk tubuh Arin erat-erat karena ada sesuatu yang akan terjadi. Tubuhnya bergetar hebat memberikan kepuasan yang paling maksimal untuknya. Aska klimaks tanpa melakukan apa pun? Sepertinya Arin tidak menyadarinya dan baru terbelalak saat sesuatu memenuhi dirinya untuk yang ke sekian kali. Gadis itu menggigit bibirnya dan mematung sesaat.

“Kau mau kemana? Kamu dilarang pergi!”

...


Langkah demi langkah Arin lalui tanpa tujuan yang jelas. Pada akhirnya Arin terperangah karena ia berada tepat di depan studio Digtya dan terpaku melihat Digtya yang berdiri memandangnya dengan tatapan khawatir di balik dinding kaca. Arin mendekat perlahan-lahan.

Digtya langsung berjalan keluar dan langsung memeluk Arin.

“Kamu kemana saja beberapa hari ini? Kamu marah karena aku tidak menjemputmu? Maafkan aku!”

I Have Two Husband'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang