9. Melebur Menjadi Satu

257 16 0
                                    

“Kau merindukanku?” Bisik Aska.

“Siapa bilang aku merindukanmu?” ucap Arin memungkiri perasaannya. Sebenarnya Arin rindu, hanya saja. Ia akan senang jika Aska kembali hari lusa.

“Baiklah, kalau begitu cukup aku yang mengatakannya. Aku merindukanmu! Apa kegiatanmu selama aku tidak di sampingmu?”
“Aku?”

Kelebat bayangan ia bersama Digtya pun muncul. Ia bersama Digtya bermain air di pantai, main sky air, jet sky. Berkejaran di bibir pantai.

Arin tak sadar bahwa ia tersenyum saat mengingat itu dan itu sukses membuat Aska cemburu. Bahwa hari-hari yang istrinya lewati lebih menyenangkan tanpa kehadirannya.

“Sepertinya kamu bahagia tanpa aku?”

“Apa? Tidak! Tidak!”

Aska memegangi wajah Arin dengan kedua tangannya.

“Kamu tidak tahu bagaimana aku stres tanpa kamu?”

“Ya, Aku tahu.”

“Bilang kamu merindukanku!”

“Aku merindukanmu.”

Aska mendekatkan tubuhnya, mencium bibir Arin. Mencumbunya di sana dan Arin membalas cumbuan. Hanya sebentar lalu semuanya berubah menjadi lebih serius. Pada akhirnya tubuh Arin menjadi perjalanan yang panjang untuk Aska. Menyatu, dan satu.

“Aku merindukanmu”. Bisik Aska di telinganya dengan suara bergetar seiring dengan gerakan lembutnya. Tapi itu belum cukup.

“Aku ingin bersamamu sepanjang hidupku.”

“Kamu dilarang keras untuk pergi dariku!” imbuh Aska.

Arin tak menjawab karena ia begitu terbuai bahkan ia melupakan sosok pria lain di hidupnya.

Pada akhirnya semua itu tidak akan pernah cukup. Mereka masih berpelukan meskipun mata sudah terpejam dan keletihan menyerang. Setelah ini bagaimana dengan nasib pernikahan misterius ini?

Saat pagi menjelang, Arin terbangun dan mendapati ruangan kosong begitu saja. Arin mengernyitkan keningnya.

“Apakah aku sedang mimpi?”

Saat Arin bergerak, ia merasakan nyeri di daerah sensitifnya

“Tidak! Aku tidak sedang bermimpi tapi kenapa dia meninggalkanku setelah hasratnya terpenuhi.”

Arin pun menangis karena mendapatinya bodoh. Ia merasakan sakit saat dimana ia menyerahkan mahkotanya namun disisinya sudah tidak ada siapa-siapa. Ibarat pepatah mengatakan habis manis, sepah dibuang.

Pintu kamar mandi berderit dan Arin menoleh. Ia melihat Aska termangu tanpa bergerak dan memandangi Arin dengan wajah bingung.

“Kenapa? Apa aku tadi malam terlalu bertenaga sehingga menyakitimu?” ucap Aska yang kini sudah duduk di sampingnya.

Arin menggeleng pelan. Tubuh Arin tiba-tiba berguncang dan terlonjak melepaskan diri dari pelukan Aska.

“Aku akan mandi dan membuat sarapan.”

Saat membuat sarapan, pikiran Arin melayang melintasi buana. Ia memikirkan perasaan Digtya. Arin merasa telah menghianatinya.
Lamunan Arin terhenti saat merasakan sebuah kecupan mendarat di pipinya. Aska sudah duduk di sebelahnya.

“Kamu ingin kemana?”

“Aku ingin pergi bersama temanku ke mall mungkin.”

“Uang di ATM masih ada, Kan?”

Arin mengangguk.

“Ada apa?” Sebelah tangannya merangkul pinggang Arin dan itu berhasil membuat Arin memandangnya.

“Aku hanya kelelahan.”

“Lalu istirahatlah kenapa malah jalan-jalan keluar?”

“Bagi seorang wanita jalan-jalan keluar sambil belanja adalah obat mujarab.”

“Jadi jika kamu lelah dan stres kamu akan menghabiskan uang untuk belanja dan jalan-jalan?”

“Tantu saja.”

“Untung suamimu ini kaya.”

Arin melihat jam yang menempel di dinding lalu beralih ke Aska.
“Tidak berangkat kerja?” Suara Arin bertanya pelan.

“Aku sudah lembur kemarin. Jadi hari ini terlambat sedikit seharusnya bukan masalah!”

Aska membungkukkan tubuhnya memandangi wajah Arin semakin dekat. Setiap embusan nafasnya menyapu wajah Arin dengan keinginan yang sangat dalam.

“Kenapa? Ada apa?”

“Kamu cantik sekali Arin!”

Aska lalu mencium keningnya, kelopak mata, pipi, telinga, bibir, Aska kembali menjauhkan wajahnya dan memandangi Arin lekat-lekat dan itu sukses membuat Arin merasa jantungan.
Dan entah siapa yang memulai bibir mereka kembali berpagutan, saling berpadu untuk ke sekian kalinya.

Arin melingkarkan lengannya di leher Aska.

...


Arin dan Bitna saat ini sudah berada di mall. Mereka berjalan beriringan dan sesekali berhenti untuk sekedar melihat-melihat pakaian atau pun tas.

“Mana yang akan kamu pilih?”

“Huh?”

Arin lalu melihat kedua tas yang dipegang Bitna. Ia bersedekap dan memikirkan kelebihan dan kekurangan kedua tas tersebut.

“Sepertinya yang biru.”

“Bukan itu yang aku maksud.”

Arin bingung dengan topik yang dibicarakan oleh Bitna.

“Keduanya mempunyai penampilan dan kepribadian tapi tetap saja bos presdir yang—“

“Cepat pilih tasmu!”

“Berikan satu!”

“Membelikanmu satu?” dahi Arin berkernyit.

“Kamu tahu, bukan itu yang aku maksud. Lebih dari satu akan membuatmu kerepotan.”

“Huh?”

Mata Arin membesar mendengarkan ucapan seperti itu.
“Aku...”

Entahlah apa yang dipikirkan Arin. Ucapan Bitna seolah membuatnya gugup. Dua wanita dengan pemikiran dan maksud yang berbeda menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka.

“Aku ingin sepatumu.”

“Huh? Sepatu?”

“Ya, sepatumu sangat bagus. Dimana kamu membelinya?”
Langsung saja tawa sumbang membahana dari bibir Arin.

“Sepatu? Aku tidak tahu dimana dia membelinya. Ini dibelikan oleh Aska.”

“Kehidupanmu benar-benar menyenangkan. Seandainya aku juga punya, meskipun hanya satu.”

“Ayo kita ke sana,” ajak Arin sambil menunjuk ke sebuah toko sepatu.

Bitna yang berjalan di belakang Arin seketika memperhatikan jalan Arin yang di luar biasanya.

Bitna lalu segera menyejajarkan langkahnya.

“Apa sesuatu terjadi padamu?”

“Tidak! Kenapa?”

“Aku melihatnya.”

“Apa?”

“Aku bisa membaca seseorang hanya karena gaya berjalannya. Kalian pasti terjadi sesuatu?”

“Apa?” Arin mengerjapkan matanya.

“Kalian tadi malam melakukannya kan? Dengan siapa? Aska atau Digtya? Ayolah, katakan saja!

“Aku tidak mau!”

“Ayolah kamu malu?”

“Tidak! Aku hanya takut aku akan meracuni otak polosmu itu,” ucap Arin yang berlalu pergi dengan langkah cepat untuk menghindari gempuran pertanyaan dari Bitna namun sayang tiba-tiba teriakan datang dari bibirnya.

“Akh.”

Apa yang terjadi pada Arin?

I Have Two Husband'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang