15. Merutuki Kebodohan

170 19 5
                                    

Aska menghela napas berat. Entah kenapa perasaannya kalut sekarang. Ia merasa akan ada badai besar yang menerjang.
Aska menatap tangannya sendiri. Tangan ini, yang pagi tadi menyentuh Arin dan tangan ini pula merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arin.

Mencoba menelepon Arin adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk menenangkan hatinya. Namun sampai bunyi dering ke-sekian kali tidak ada jawaban dari seberang.

Pintu ruangan kerja Aska terbuka sehingga mata Aska membesar saat melihat asistennya masuk tanpa permisi.

“Maaf mengganggu Presdir, ada titipan untuk Presdir.”

Aska memicingkan alisnya saat melihat kotak bekal di hadapannya. Itu adalah kotak bekal yang selalu Arin bawa.

“Arin?” desisnya.

Semangatnya tiba-tiba membara. Aska menegakkan punggungnya dan menatap asistennya.

“Siapa yang membawakan ini? Dia wanita? Kapan dia ke sini?”

Belum sempat asisten itu menjawab, sosok lain muncul dari balik pintu.

“Ya, aku yang membuatkan bekal untukmu.”

“Kamu!” Aska terkejut.

“Kamu berharap orang lain? Arin?”

Nana duduk di sofa di ruangan itu sementara asisten Aska langsung pamit untuk mengerjakan tugas lainnya.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu?”

“Untuk apa kamu kemari?” desis Aska.

“Tentu saja membawakan makan siang untuk suamiku,” ucap Nana.

“Pergilah! Dan bawa kotak bekal ini,” ucap Aska yang begitu acuh.

Nana menghela napas berat, “Apakah kamu benar-benar mengharapkan yang datang adalah dia?”

Aska menatap Nana dengan sengit.

“Kamu lebih baik melupakan dia.”

“Dalam mimpi.”

“Aska, jika kamu masih marah denganku. Aku minta maaf. Mari kita mulai dari awal lagi,” ucap Nana berharap.

Aska tak menjawab karena pikirannya hanya tertuju pada satu wanita yaitu Arin.

Nana yang mendapati dirinya tidak digubris sama sekali dengan Aska hanya bisa mengepalkan tangannya menahan amarahnya.

“Kemarin dia mendatangiku,” ucap Nana tiba-tiba dan itu sukses membuat perhatian Aska tertuju pada Nana.

“Dia mengatakan padaku bahwa dia akan meninggalkanmu. Dia bahkan meminta maaf padaku, jadi...”

Setelah mendengar ucapan Nana, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kehendaknya sekarang. Aska langsung berdiri dan meninggalkan Nana di ruangan itu.

“Aska!” teriak Nana.

Aska tidak menggubris teriakan Nana. Yang ingin ia lakukan adalah untuk menemui Arin. Ia berlari sekuat tenaga untuk memastikan bahwa Arin masih berada di rumahnya.

Aska bahkan tidak bisa menunggu lift. Ia memilih untuk menuruni tangga darurat dengan terburu-buru untuk mencapai parkir mobil di bawah.

Ia langsung membuka pintu mobil dan langsung menancapkan pegal gas dengan tergesa-gesa. Roda mobil berputar dengan cepat sehingga mesin mobil pun terdengar sangat nyaring.
Dengan gelisah Aska menyetir mobil. Kecepatannya di atas rata-rata sehingga membuat orang-orang pengguna jalan lainnya memandanginya sambil mengumpat.

Aska sampai di rumahnya dan suasana begitu sunyi. Aska benar-benar linglung. Ia segera mencari Arin di sudut rumahnya. Kamar mereka? Arin tidak ada di sana. Ia mencoba menelepon Arin namun kali ini nomor yang dituju sedang tidak aktif.

Apa yang akan dilakukannya? Aska selalu bertanya begitu pada dirinya sendiri. Dan ia tidak bisa menemukan jawaban lain selain mencari.

Satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan. Arin benar-benar tak bisa ditemukan. Aska ingin mati, ingin menghilang tapi ia juga masih ingin hidup untuk mencari Arin. Untuk terus bertanya kepada siapa saja yang mengetahui keberadaan Arin.

“Kamu masih belum menemukannya?” tanya Alex sedikit berbisik karena di sana ada Nana meskipun Nana tidak ikut bergabung dengan mereka.

Aska menggeleng lemah, “Aku sudah mencarinya kemana-mana. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah berbuat kesalahan karena memanfaatkannya untuk membalas dendam pada Digtya.”

“Kamu merindukannya?”

“Sangat!”

Alex menggeleng tak habis pikir. Ia sudah mengatakan pada Aska sebelumnya bahwa kesalahan Nana dan Digtya tidak seharusnya dilampiaskan pada Arin. Arin tidak tahu apa-apa.

“Kamu sudah tidur dengannya?”

Aska mengangguk lemah.

“Sudah kubilang hati-hati!” ucap Alex agak lantang membuat Nana yang sedang menonton televisi menoleh. Alex melemparkan seulas senyum.

“Kenapa kamu melakukannya?” tanya Alex kembali.

“Bagaimana bisa aku menahannya? Aku kelaparan dan kehausan jadi aku terbawa suasana.”

Alex tahu ada perasaan terbesit pada diri Aska. Terbesit rasa kekesalan karena harus kembali pada Nana dan ada rasa kekecewaan karena tak bisa menemukan Arin.

“Sejak kapan kamu mencintainya?”

Aska tertarik sejak awal ia bertemu dan melihat Arin bersama orang yang paling dibencinya, Digtya.

Saat Aska kecewa karena wanita yang menikah dengannya ternyata selalu pergi bersama pria lain.

Wanita yang berusaha ia cintai semenjak mereka dijodohkan kerap kali pergi keluar bersama Digtya sampai tidak pulang.
Aska berusaha memakluminya namun puncak dari semuanya adalah saat Aska melihat dengan matanya sendiri, Digtya berbaring di ranjangnya dengan Nana. Melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan.

Dalam penyelidikan Aska, Digtya dan Nana memang mempunyai hubungan lama. Mereka terlibat cinta layaknya romansa dewasa namun harus terhalang oleh status keluarga.

Tapi apa pun alasannya, Nana tidak seharusnya menyakiti Aska.
Nana tidak tahu bahwa cintanya juga dikhianati oleh Digtya. Digtya mencintai Arin. Setiap kali Aska melihat Arin, ia merasa bahwa Arin adalah gadis yang rapuh.

Meskipun Digtya mencintainya, Digtya masih berhubungan dengan Nana.

Saat itulah Aska tertarik dengan Arin dan ingin membalas Digtya. Ia ingin Digtya merasakan apa yang ia rasakan. Menyadari wanita yang seharusnya menjadi miliknya bersama orang lain dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat itulah Aska mencari jalan keluarnya, dan sepertinya takdir telah membantunnya. Arin mengalami kecelakaan dan sebagian memorinya hilang.

Saat itulah Aska masuk dan mengatakan bahwa ia adalah suaminya. Mengatakan bahwa mereka sudah terikat dalam sebuah pernikahan.

Sekarang bukan hanya Arin yang terjebak namun Aska juga. Terjebak dengan tubuh Arin, terjebak dengan perhatian Arin.
Aska ingin memilih Arin dan meninggalkan Nana. Tapi begitu ia membulatkan tekadnya, Arin sudah menghilang dan tidak bisa ditemukan dimana pun.

Aska sangat menderita. Penderitaannya melebihi saat melihat Nana dan Digtya di atas ranjang.

Ia merasa sedih karena setiap bangun pagi tidak ada Arin di sisinya.

Ia merasa bersalah karena melampiaskan semua kebenciannya terhadap Digtya dan Nana pada Arin.

Aska merutuki kebodohannya.

I Have Two Husband'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang