“Aku tidak punya pilihan lain, semua ini cepat atau lambat akan terbongkar dan…” Kali ini Aska yang terpaku, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi karena Arin menyekap telinganya.
Arin tidak ingin mendengar apa-apa? Tapi Aska belum mengatakan semuanya.
“Berhenti! Jangan katakan apa pun!”
Aska berusaha membebaskan telinga Arin dari kungkungan telapak tangannya, meskipun pada awalnya menolak, Arin tetap membiarkan Aska menarik tangannya dan sebagai gantinya.
Air matanya masih mengalir dengan sangat lancar dan tanpa henti. Dia terus menangis belakangan ini dan pasti sangat lelah dan Aska tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku mengerti kalau kamu menganggap aku jahat. Aku memang jahat, menikah denganmu karena tujuan buruk. Kamu boleh melakukan apa saja padaku. Kalau kamu mau mengusirku juga akan aku terima. Tapi dengarkan dulu penjelasanku.”
“Jadi aku benar-benar bukan siapa-siapa? Aku tidak menikah denganmu, berarti tidak juga menikah dengan Digtya kan? Kalian sangat jahat sekali. Apa ini semuanya karena Nana? Kamu dan Digtya kenapa menyeretku ke dalam kisah pelikmu!”
Arin berhenti berkata-kata, isak tangis mulai intens dan Arin mulai kesulitan berbicara.
“Berhentilah menangis.”
“Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa…Bagaimana ini?”
Bahu Arin berguncang, tapi tangisannya tidak sekencang semula. Perlahan-lahan suara tangis yang keluar dari mulutnya menghalus.
Arin memandang Aska galau. Tapi Aska tidak ingin membuat Arin galau, hubungan tidak normal ini akan di ubah menjadi normal. Rumah tangga yang tidak nyata akan segera menjadi nyata. Apa yang harus Aska lakukan? Mengikuti kata hatinya? Sebuah kecupan manis mendarat di bibir Arin dan berubah menjadi panas.
Namun itu terjadi hanya beberapa detik karena Arin segera melepaskannya.“Cukup! Aku ingin menenangkan diriku.”
Aska terkesiap namun ia melepaskan Arin secara berat hati. Aska melihat Arin yang perlahan menghilang dari balik pintu kamar.
Arin berjalan dengan gontai ke dapur. Ia menegak segelas air mineral hingga tandas. Matanya menerang menatap tanpa jejak objek di sana.
Obsidiannya menangkap pisau dapur. Ia segera menggapainya. Ia ingin mati, Motivasi yang entah karena alasan apa, mata pisau yang tajam itu sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya.
Tidak ada gunanya ia hidup, semua yang ada pada dirinya sudah rusak dan ia tidak ingin merusak orang lain karena ini. Tapi Arin terlalu pengecut dan takut.
Arin membanting pisaunya sehingga menyentuh lantai yang dingin. Ia lalu luruh di sana. Rasanya ingin lari saja.
Arin mendengar langkah mendekat dan ia langsung berdiri dan segera menyeka wajahnya.
“Apa yang kamu lalukan di sini?”
“Hanya minum,” ucap Arin lalu berjalan mengabaikan Aska.
“Kamu mau kemana?” tanya Aska saat melihat Arin hendak keluar rumah.
“Aku ingin menenangkan diriku.”
“Aku ikut!”
Sepanjang perjalanan, Aska tidak henti-hentinya melihat kelakuan aneh Arin. Seorang yang periang dan keceriaannya luntur seketika dan Aska merasa sedih akan hal itu.
Hari ini cukup cerah dan duduk di atas bangku taman itu mungkin akan lebih nyaman di bandingkan berjalan kaki. Aska mengikuti Arin yang berjalan ke arah yang di inginkannya dan duduk di bangku taman yang kosong.
“Tunggu di sini! Aku akan membelikanmu minuman.” Suara Aska terdengar.
Sepertinya, Arin tidak terpengaruh sama sekali. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Sesekali ia memandangi beberapa orang yang berlalu lalang di depannya
Melihat Arin yang seperti itu, entah mengapa Aska di rasuki rasa sepi yang dahsyat. Ia sangat ketakutan jika Arin meninggalkannya.
Arin menundukkan kepalanya setelah melihat kepergian Aska. Ia mengusap perutnya.
“Haruskah aku memberitahunya, bahwa kamu ada di sini,” ucap Arin sambil mengusap perutnya. Ia terlalu larut dalam pikirannya.
“Kamu kenapa?”
“Aku? Aku memikirkan anak yang aku kandung.” Arin akhirnya melepaskan tawanya, tapi hanya sementara karena tawa itu langsung memudar saat ia mendongak dan menyadari kalau yang bertanya adalah Digtya. Ia menutup mulutnya rapat-rapat.
“Anak? Kamu…”
“Aku harus pergi.”
Untuk sementara waktu Digtya terpaku di tempatnya, tapi sesegera mungkin ia berusaha mengumpulkan semua indranya dan menyusul.
“Kamu hamil? Benarkah?” Digtya masih berusaha mencari tahu, ia terus berusaha untuk menyejajarkan langkahnya dengan Arin.
Arin berhenti melangkah. Lalu memandang Digtya. “Aku hanya asal bicara karena otakku sedang tidak baik-baik saja.”
“Siapa Ayahnya?”
Arin tidak menjawab, gadis itu membuang pandangannya kearah lain. “Siapa?”
“Dia orangnya? Sial! Lelaki berengsek itu merampas gadis yang kusukai. Sekarang kamu tahu bagaimana perasaanku mengetahui dirimu akan disia-siakan.”
Digtya menundukkan wajahnya dan memandangi Arin dengan serius.
“Apa? Kenapa? Kamu sama berengseknya dengan dia.”
“Aku…” Digtya terdiam menahan kata-katanya, ia ingin bertanggung jawab pada Arin, ia akan menikahi Vanessa dalam keadaan apa pun. Tapi Digtya ragu.
Mungkin setelah ini Arin harus menghindar untuk bertemu dengan Digtya. Gadis itu berusaha melayangkan pandangannya ke tempat lain. Ia melepaskan senyuman ejekan sedetik.
Lalu terdengar sebuah hantaman bogeman keras hingga Arin menoleh. Ia menelan ludahnya sendiri melihat Digtya sudah terkapar di tanah.
“Jauhi Arin!”
Telapak tangan Aska langsung membungkus telapak tangan Arin. Ia menyeretnya hingga tubuh mereka saling bersentuhan.
“Ayo kita pergi!”
Digtya melihat kepergian Arin dan juga Aska. Ia mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah akibat bogeman yang dilayangkan Aska. Pria itu, lantas berdiri dan merogoh ponselnya yang tiba-tiba berbunyi.
...
“Kenapa kamu lama sekali? Kamu hampir membuatku gila karena menunggumu!” Nana berdiri di depan apartemennya yang terbuka. Ia sedang menunggu Digtya.Digtya memandang ekspresi Nana yang kesal. Nana yang merasa dipandang, langsung saja menarik tangan Digtya untuk segera masuk apartemennya.
“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Aku menemuinya!”
“Siapa?”
“Dia, Arin.”
“Kenapa kamu menemuinya?”
“Kenapa kamu menanyakannya? Tentu saja membuat pelajaran. Dia sedang merebut suamiku. Aku sedang bertengkar—“
“Lalu kamu menyalahkannya?” Digtya memotong pembicaraan Nana.”
“Ya. Digtya, kamu tidak boleh meninggalkanku. Aku tahu kamu menginginkanku.”
“Aku sekarang tidak menginginkan apa-apa.”
Digtya menjauhkan dirinya dari pelukan Nana.“Karena ada perempuan lain? Apakah kamu menginginkannya seperti kamu menginginkan aku? Apakah dia lebih cantik dariku? Katakan padaku!”
Digtya memandang Nana lama.
“Siapa dia?”
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have Two Husband's
RomanceDia mengatakan suamiku. Aku mempunyai dua suami. Bagaimana bisa? Apakah pria ini mencoba menipuku.