Malam menggantikan siang tanpa terasa. Suara burung hantu yang bertengger di pohon besar dekat jendela, mendominasi pendengaran. Amadia duduk di ranjang mewah berlapis seprai biru muda dengan wajah kusut. Wanita itu sudah lima belas kali menghela napas berat.
Semua informasi pemilik tubuh asli bermunculan secara bertahap lewat mimpi. Ternyata, sang villainess sendiri ikut menderita. Dia diasingkan ke mansion ini karena dianggap sebagai aib. Padahal dia dijebak saat melakukan itu--entah dengan siapa--hingga menghasilkan Arelia.
Satu hal yang masih menjadi misteri, kematian Amadia dan jiwanya yang masuk ke tubuh ini. Ia harus segera mencari tahu meski fokusnya sekarang adalah memperbaiki hubungan dengan Arelia.
Amadia memindai kamar tidur yang ditempatinya. Sebagai putri yang diasingkan, sang pemilik tubuh masih mendapatkan--setidaknya--sedikit kasih sayang.
Lihat saja ruangan ini. Luasnya 'enggak ngotak' untuk ukuran kamar tidur yang hanya ditempati satu orang. Nuansa gold tetap melekat dengan diberi campuran merah marun. Lampu gantung yang memancarkan cahaya temaram, bagai kumpulan lilin di atas sana. Ada juga karpet bermotif abstrak--Amadia yakin terbuat dari bahan berkualitas tinggi--yang digelar tepat setelah ranjang.
"Oh, Tuhan. Jika di New York, entah berapa yang akan dihabiskan untuk membayar sewa per malam kamar setara bintang lima ini." Amadia tak dapat menahan pekikannya. Ah, ia bahkan yakin gajinya sebagai guru sejarah di desa terpencil tidak akan mampu membayar hal-hal mewah ini.
Di bagian terpisah, ada satu kursi dengan meja bundar. Kedua benda itu diletakkan di dekat jendela. Amadia membayangkan, akan sangat menyenangkan minum teh di sana bersama Arelia. Ia harus berusaha keras memperbaiki hubungannya dengan gadis cantik itu.
Sedang asyik-asyiknya mencuci mata, Amadia menangkap pergerakan di pintu. Kemudian, tiga orang dayang yang mengenakan gaun sederhana masuk begitu saja. Amadia gagal untuk tak mengernyitkan alis, kurang suka atas sikap tidak sopan orang-orang yang bertugas melayaninya itu.
Namun, Amadia tetap mengatupkan mulut. Dia belum mau berkomentar apa pun, ingin melihat lebih jauh sikap kurang ajar mereka. Terutama sosok yang berada di tengah.
"Malam, Nona Amadia. Aku datang lagi!"
Apa-apaan nada tinggi dan bahasa santai itu?
Berbeda dengan hatinya yang langsung merutuk, Amadia justru memasang senyum manis.
Menurut ingatan pemilik tubuh ini, perempuan yang tadi menyapa dengan bahasa non formal itu merupakan salah satu kaki tangan Elisa Alondra Fidel. Ibu tiri Amadia, antagonis sesungguhnya.
Oke, mari kita mainkan peran!
"Ya, Stas? Ada apa mengunjungiku malam-malam begini?"
Stas, nama dayang itu. Beruntung, Amadia dapat mengingatnya dengan baik sehingga tidak perlu khawatir akan menimbulkan kecurigaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasyAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...