"Kenapa kau dan anakmu terus berdiri di jalan? Seperti gelandangan saja."
Amadia yang awalnya sedang mengobrol dengan Arelia lantas mencari asal suara. Nada ketus yang khas itu ternyata berasal dari si bungsu Fidel, Daza.
Gurat heran langsung terlukis di wajah wanita beranak satu itu. Apa urusan anak ini? Ia tengah menunggu kereta kuda datang, bukan menyamar jadi seperti yang disebutkan si bocah.
"Hei, kau tuli, ya? Atau kehilangan kemampuan berbicara? Aku berbicara kepadamu, tahu!"
Amadia memgedutkan kening. Sungguh tidak sopan anak ini. Bila di dunianya, ia pasti sudah menghukum Daza berdiri di lapangan upacara.
Tak ingin kena semprot lagi, Amadia lantas menjawab, "Salam hormat, Tuan Muda. Saya bersama putri saya sedang menunggu kereta kuda sewaan kami.
Daza malah tersenyum sinis. Laki-laki yang akan menginjak usia remaja itu bersedekap angkuh, lalu membalas, "Kereta kuda itu tak akan datang. Ayah sudah menyuruh para penjaga untuk menahan kusir membawanya kemari. Saat ini, karena tidak ada pilihan lain, kau dan anakmu itu harus masuk lagi."
"Saya tid--"
"Sudah, ya. Ayah menunggu kalian. Cepatlah masuk jika tidak ingin terluntang-lantung di jalanan."
Gigi Amamdia beradu saking kesalnya. Ia mengepalkan tangan, kemudian memejamkan mata sambil mengatur napasnya. Jangan sampai ia terpancing.
Daza itu seperti karakter muridmya yang suka ceplas-ceplos dalam berbicara. Atau, nakal. Meski hal itu mereka lakukan untuk mencari perhatian.
Akhirnya, setelah berpikir ulang dan kereta kuda pun benar-benar tak datang, Amadia pun masuk bersama putrinya.
* * *
Begitu tiba di dalam, pasangan ibu dan anak itu disambut tatapan orang-orang yang duduk di ruang makan. Ada Baltasar, kedua putra Fidel, serta Elisa dan si kembar.
Daza melenggang santai ke arah para Fidel. Ia lantas duduk di kursi sebelah sang kakak.
Amadia bingung harus membawa langkahnya ke mana. Ia juga tak tega melihat ketidaknyamanan sang putri. Hawa canggung yang kuat membuatnya ingin lekas pergi.
Namun, mengapa Daza berkata jika ayahnya sedang menunggu? Bohongkah si bocah itu?
"Kenapa berdiri terus? Masuklah, Dee. Mari makan siang bersama. Kau tidak merindukan keluargamu ini?"
Cih! Keluarga apanya! Ingin sekali Amadia meneriakkan kata-kata itu. Nyatanya, ia hanya bisa tersenyum semanis mungkin sambil mengeratkan genggaman pada Arelia.
"Maaf, Grand Duchess. Sepertinya saya makan di luar saja. Um, soal kereta kuda, bolehkah keluarga Fidel meminjamkannya pada saya?" pinta Amadia, nekat.
Suara sendok yang sepertinya sengaja dijatuhkan ke piring menimbulkan bunyi nyaring. Atensi semua orang pun langsung teralih pada sang pelaku, Baltasar.
"Tidak boleh. Kereta kuda di sini bukan kendaraan sewaan. Memangnya kau dan putrimu itu mau ke mana? Cuaca sedang panas-panasnya. Duduk saja dan jangan banyak bicara lagi."
Amadia melongo. Sedikit sakit hati. Ia tak menyangka sosok yang terkenal irit bicara itu akan mengucapkan kata yang lumayan banyak.
Ia melirik Elisa dan dua perempuan berwajah sama, kecut. Tentu saja mereka berekspresi seperti itu karena tidak akan menyukai ide sang ayah. Meski para perempuan tersebut lihai menutupi perasaan dengan senyum manis.
Menoleh pada Arelia, Amadia seolah-olah meminta peersetujuan lewat tatapan.
"Duduk saja. Kau terlalu banyak membuang-buang waktu," timpal Caivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasyAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...