Angin pagi yang terasa agak dingin membelai wajah Arelia. Rambut panjangnya yang kini lebih terawat sesekali bertingkah nakal sampai menghalangi pandangan.
Gadis itu duduk tenang di kursi yang berada di balkon kamar. Di pangkuannya, ada kertas berisi coretan-coretan gambar tubuh manusia dengan berbagai pakaian. Pensil yang dipegangnya menari lincah dalam lembaran putih tersebut.
Mentari harus bersabar karena cahayanya terhalang gumpalan awan. Bunyi daun kering bersentuhan menciptakan kersik yang menenangkan. Kicau burung-burung kecil yang sedang mencari makanan sesekali terdengar.
Sekian lama berkutat dengan pensil dan kertas, Arelia akhirnya mengangkat pandangan. Ia menempelkan punggung pada sandaran kursi bersamaan dengan buku yang ditutup. Di dalam lembaran itu, terdapat berbagai desain pakaian buatannya sendiri yang dikerjakan secara diam-diam.
Arelia kemudian memejamkan mata. Sudah tidak ada perbuatan kasar lagi yang datang kepadanya sejak wanita itu berubah.
Tetapi, mengapa?
Nyeri menghantam dada kala mengingat masa lalu tak menyenangkan dari sosok yang harusnya ia panggil ibu.
Bohong jika ia merasa tidak senang akan perunahan wanita itu. Apalagi mendapatkan kasih sayang yang selalu ia dambakan.
Mengingat perbuatan buruknya yang lalu, apa kebaikan wanita itu bisa dipercaya? Arelia gamang.
Ketukan pintu membawa kesadaran Arelia kembali ke permukaan. Tak lama kemudian, suara yang akhir-akhir ini selalu berintonasi lembut memanggilnya dari luar.
Seketika, Arelia panik. Ia melepasakan bokong dari kursi dan bergegas ke dalam kamar. Buku desain yang berada di tangannya langsung disembunyikan di kolong tempat tidur. Ia terlalu spontan sehingga tidak dapat memilih tempat yang lebih baik untuk bukunya itu.
Suara Amadia kembali terdengar. Arelia mendatarkan ekspresi, lalu berjalan ke pintu dan membuka benda penghubung itu.
Hal pertama yang ia lihat adalah senyum manis sosok di depannya. Ia lekas menunduk. Rasa kagum akan kecantikan dan keanggunan wanita itu yang sempat menciut, kini mencoba mengembang lagi.
"El, Sayang, bolehkah aku masuk?"
El, sayang? Benarkah sosok ini ibunya yang dulu hanya bisa mengeluarkan kata-kata kotor?
Sembari berpikir keras, Arelia mengangguk. Ia lantas menyingkir dari ambang pintu, dan mengekori Amadia kembali ke dalam.
Tatapan Arelia terus mengikuti langkah Amadia yang langsung menuju balkon. Wanita bergaun salem itu kemudian meletakkan kantung yang dibawanya, mengeluarkan makanan dari sana, dna menatanya di atas meja.
Arelia mengedutkan kening. Aneh. Belakangan ini, wanita itu berubah. Dia jadi bingung harus bagaimana. Ia juga belum sepenuhnya percaya pada orang itu. Ia takut akan dijatuhkan setelah nyaman berada di tempat tinggi.
"Nak, kita mak--hei, kenapa kau melamun?"
Arelia mengerjapkan mata. Pandangannya bertemu dengan Amdia yang menatapnya heran. Meski ingin menjawab pertanyaan sang ibu, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Ah, ia bahkan masih kaku meski sekadar bersuara.
Hal tak biasa lain, Amadia tidak marah atas kebungkamannya. Seperti yang sudah-sudah. Berbeda dengan dulu, ia akan mendapatkan pukulan jika sedikit saja mengabaikan wanita itu.
"Duduklah dahulu, El. Kau harus banyak beristirahat agar lekas sehat," pinta Amadia begitu lembut.
Belum sepenuhnya beradaptasi dengan sikap baik sang ibu, tubuh Arelia mendadak kaku saat Amadia menyentuh lengannya, lalu mendudukkannya di kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasíaAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...