"Maaf atas sikap lancang saya, Yang Mulia. Tetapi, ada urusan apa sehingga Yang Mulia selalu datang ke sini dan mencari Ibu saya?"
"Aku ayahmu."
Arelia seketika membulatkan mata. Mulutnya terbuka sedikit. Balasan tak terduga dari sosok yang sebentar lagi menjadi pemegang tahta itu menyebabkannya sungguh tercengang.
"I-itu bukan jawaban atas pertanyaan saya, Yang Mulia." Arelia mempertahankan suaranya tetap tenang meski sia-sia.
Jade, sosok yang menjadi lawan bicara Arelia, menatap tepat pada kedua mata yang memiliki iris serupa Amadia itu. Lalu, dia kembali berkata, "Aku ayahmu."
Seketika, Arelia berdiri dengan cepat. Tanpa mengingat bahwa laki-laki di hadapannya merupakan seorang putra mahkota, dia menyingkirkan segala tata krama yang selama ini dipelajari dari sang ibunda.
"Kau bohong! Aku tidak memiliki ayah! Dia sudah kuanggap mati sejak meninggalkan Ibu!"
Setelah itu, gadis yang mengenakan gaun hijau lembut tersebut berbalik dan berjalan dengan terburu-buru tanpa menoleh lagi ke belakang.
Jade melihat punggung mungil yang makin menjauh di depannya dengan sorot rumit. Laki-laki itu menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah yang berlawanan.
* * *
"Apa yang terjadi dengan Arelia?"
Dalam keadaan napas yang tak beraturan, Amadia bertanya pada Iona yang berdiri di depan kamar putrinya. Sehabis mengurus sesuatu bersama Shura, dia bergegas kembali saat mendapat kabar bahwa Arelia mendadak tidak mau membuka pintu kamar.
"Maaf, Nyonya, saya tidak terlalu mengetahui secara detail. Tadi pagi, Yang Mulia Putra Mahkota datang mencari Anda. Kemudian, Nona Arelia datang untuk menggantikan. Namun, tak lama kemudian, Nona keluar ruangan dengan raut kurang bagus. Putra Mahkota pun ikut pulang. Setelah itu, Nona Arelia tidak keluar lagi dari kamar," jelas Iona tanpa mengangkat pandangan.
Amadia terdiam, berusaha mencerna kalimat panjang lebar itu di kepalanya. Dia lalu mengangguk dan berterima kasih.
"Shura, tolong ambilkan makanan untuk putriku. Iona, kau boleh ikut. Aku akan masuk untuk membujuknya."
"Baik, Nyonya," sahut kedua gadis itu bersamaan.
Amadia melayangkan senyum pada mereka. Setelah keduanya beranjak dari sana, dia segera masuk dengan mudah. Beruntung saja pintu ruangan itu tidak dikunci.
"Nak? Maaf, Ibu masuk, ya," izinnya.
"Ar--"
"Ibu!"
Ucapan Amadia terpotong oleh pelukan yang amat erat. Wanita itu mengerjap beberapa kali, baru kemudian tersadar dan membalas dekapan sang putri.
"Ibu, aku sedang sedih."
"Sedih kenapa, hmm?"
Kemajuan pesat! Arelia mau mengatakan isi hatinya lebih dahulu tanpa harus ditanya. Tentu saja Amadia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ia lantas melepaskan pelukan dengan pelan-pelan. Ditatapnya sepasang mata bening milik sang putri yang mengingatkannya pada seseorang.
"Yang Mulia Putra Mahkota datang dan berbicara kepadaku, Bu." Arelia memulai cerita sembari duduk lagi di ranjang bersama ibunya.
"Ya, Ibu sudah mengetahui hal itu dari Iona," timpal Amadia.
"Awalnya, aku kesal karena beliau terus datang ke sini dan menyita waktu Ibu. Tapi, karena Ibu tadi sedang di luar, aku yang menggantikan beliau berbincang. Setelah itu, aku malah tambah kesal sekaligus sedih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasíaAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...