21. Who?

7.6K 901 10
                                    

Elisa, Lucia, dan Luisa, membawa Amadia ke perkumpulan perempuan bangsawan lain. Wanita itu agak murung teringat Arelia. Jika saja anaknya sudah mengadakan debutante di usia dua belas tahun, tentu Arelia dapat bergabung bersamanya.

Ah, malang benar nasibmu, Nak. Lihat saja, setelah ini, aku akan membuatkan pesta paling meriah untukmu.

"Salam hormat, Grand Duchess dan kedua putrinya."

Setiba di hadapan para perempuan, Amadia malah sibuk memikirkan makanan apa yang akan dibawanya untuk Arelia. Ah, tidak lupa juga untuk simpanan di Mansion Rutella. Di sana susah mencari makanan karena jauh dari perkotaan.

"Ah, Nyonya Rutz, kali ini aku membawa anggota keluarga baru. Perkenalkan, dia putri kedua Fidel."

Seperti biasa, Elisa mengatakan itu semua dengan sikapnya yang luar biasa anggun. Wanita bergaun ungu muda tersebut tak pernah melepaskan kipas besar senada pakaiannya untuk menyembunyikan wajah aslinya.

Amadia menahan diri tidak memicingkan mata. Apalagi ketika bisik-bisik mulai menyerang karena sebutan putri kedua Fidel yang diucapkan Elisa dengan sedikit penekanan.

Orang-orang tak lagi memasang senyum manis, tetapi kecut. Dia tentu tahu alasannya. Alih-alih memperkenalkan namanya langsung, Elisa malah mengucapkan 'putri kedua' yang lebih dikenal sebagai anak terbuang keluarga Fidel.

"Ah, jadi ini putri yang itu?" tanya wanita yang dipanggil Nyonya Rutz itu dengan nada meremehkan. Kentara sekali ada kilat mengejek di kedua sorot matanya.

"Hei, lihat, dia anak sambung Grand Duchess yang sudah memiliki anak sebelum melakukan sumpah suci."

"Dia cantik, tapi sayangnya tak tahu malu."

"Grand Duchess terlalu baik hati hingga sudi membawanya."

"Bahkan putri kembar pun tak dapat disandingkan dengannya. Nona Lucia dan Luisa lebih pantas menjadi bagian dari keluarga Grand Duke Baltasar."

Dari balik kipasnya, Elisa melirik Amadia. Ucapan tadi sudah cukup memprovokasi. Dia jadi tak perlu menggunakan mulutnya sendiri.

Marahlah seperti biasanya, Anak Pembawa Aib! Permalukan dirimu agar kami yang jadi terlihat baik di depan orang-orang ini.

Si kembar pun ikut memberi isyarat lewat tatapan. Mereka menunggu-nunggu pertunjukan yang biasa dilakukan si Ratu Drama.

Ingatan buruk tentang kejadian yang sama seperti sekarang memasuki kepala Amadia begitu cepat. Perempuan itu berusaha mengatur ekspresi atas sakit yang dirasakannya. Pemilik tubuh asli cenderung tempramental, mudah terpancing, dan langsung mengamuk kala mendapatkan ucapan tak sopan alih-alih menghadapinya dengan elegan.

Senyum yang sangat tipis tergaris bibirnya. Lihatlah, Ular! Aku bukan Amadia yang dulu!

"Halo semuanya. Aku sangat terkejut karena mendapatkan sambutan seheboh ini. Kalian yang statusnya tidak lebih dariku bahkan hanya memberi salam pada ibu tiriku. Ah, harusnya aku melakukan protes pada Ayah atas sikap tak sopan ini," balas Amadia sembari melihat kuku-kukunya yang polos.

"Lihatlah sikapnya yang tak tahu malu. Mana mungkin Grand Duke Baltasar akan mendengarkan permintaannya."

Sahutan yang entah dari siapa membuat Amadia menyeringai. Ekspresi wajahnya berubah dingin. Tanpa berminat mencari tahu siapa yang tadi berbicara, dia berkata, "Oh, ya? Aku? Tak tahu malu? Ayah bahkan memberikan undangan dengan pita merah pada anakku. Aku yakin, di antara kalian, Kaisar hanya mengirimkan undangan biasa."

Wajah-wajah pias seketika tergambar. Amadia menarik sudut bibirnya, sinis. Beberapa orang bahkan sampai memerah. Namun, tak ada yang berani membalas lagi, kecuali ….

Villainess Wants Happy Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang