"Terima kasih, hati-hati di jalan!"
Amadia melambaikan tangan, memandang kereta kurir yang mulai menjauh disertai senyum mengembang.
"Nyonya Amadia ...."
Tarikan di bibir si empunya nama langsung menghilang. Ia menghela napas pendek, lalu berbalik, bersiap menghadapi kecerewetan Shura.
Lama mengenal Shura, Amadia jadi tahu karakter asli sang pelayan pribadi yang sudah seperti adiknya sendiri. Meski gadis itu terkesan terlalu berani, tetapi ia tidak meragukan kesetiaan Shura.
Karena dalam mimpinya, pemilik tubuh asli memberi tahu jika Shura merupakan tangan kanan Arelia di masa depan. Hal itulah yang membuat Amadia teringat. Pantas saja ia merasa mengenal Shura sebelumnya!
"Ya, Shura?" balas Amadia. Ia menarik bibir semanis mungkin sebagai bahan rayuan.
"Surat apa yang ada di tangan Nyonya?"
Pertanyaan Shura refleks membuat Amadia mengalihkan tangannya ke belakang. Ia berdeham dua kali, mencoba mengusir gugup yang mendadak datang. Sungguh! Shura terlihat seperti ibu tirinya jika seperti ini.
"Nyonya? Saya mohon untuk kali ini saja. Saya sudah membiarkan Nyonya berkeliaran dengan gaun tanpa korset. Beruntung di sini hanya para pekerja yang melihat. Saya tidak rela jika Nyonya sampai dijelek-jelekkan oleh bangsawan lain."
Di balik sifat kerasnya, Amadia sangat tahu betapa baiknya seorang Shura. Namun, untuk sekarang, ia belum bisa memberi tahu rencana ini.
Jadi, wanita itu hanya melebarkan tarikan bibirnya sampai nyaris robek. Kemudian, ia menggeleng-geleng dan kabur dari sana hingga membuat Shura menepuk jidat kencang.
* * *
Amadia membuka pintu balkon dengan semangat. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara pagi menyegarkan rongga dadanya.
Burung-burung kecil sudah riuh di atas pohon. Mereka berloncatan riang dari ranting satu ke ranting yang lain sembari menunggu kedatangan ibu mereka.
Seseorang mengetuk pintu dari luar. Amadia lekas berbalik, dan mendatangi arah suara dengan langkah semangat.
Sosok Shura yang membawa baskom berisi air langsung ia dapati begitu pintu terbuka lebar. Gadis manis itu mengenakan gaun navy sebatas lutut yang tampak pas dan elegan.
"Selamat pagi, Nyonya Amadia!" sapa Shura, amat ceria.
Si empunya nama menaikkan satu alis. Apa mood Shura sedang bagus? Ia heran melihat pelayan pribadinya itu memasang air muka terlampau berseri-seri.
"Pagi, Shura. Apakah ada hal baik?" tanya Amadia penasaran.
"Tentu, Nyonya. Bukankah pagi ini cuacanya sangat cerah? Saya menduga akan ada kejadian yang baik nanti."
Melihat Shura yang tersenyum penuh arti, Amadia menggeleng-geleng sembari berdecak kecil. Ia memilih tak membahas lebih lanjut karena ada sesuatu yang lebih penting.
Tak ada percakapan lagi, Shura segera meletakkan baskom berisi air di nakas samping ranjang. Lalu, ia meminta sang nyonya mencuci wajah dan lekas bersiap-siap. Banyak kegiatan yang harus dilakukan sebagai langkah awal pembaruan Mansion Rutella.
"Jangan siapkan gaun, Shura!"
Yang dipanggil lekas menoleh. Wajahnya mengerut-ngerut heran. "Lho, kenapa? Nyonya tidak berencana bermalas-malasan lagi di kamar hanya karena korset, 'kan?"
Amadia berkacak pinggang, pura-pura marah. "Kau sudah mulai kurang ajar, ya?" ucapnya dengan mata melotot.
Shura lekas membungkuk penuh hormat, lalu berkata, "Ampuni kelancangan hamba yang hina ini, Yang Mulia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasyAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...