5. Shura

10K 989 5
                                    

"Astaga! Nona dari mana saja? Aku sangat khawatir karena sejak pagi Nona menghilang!"

Hah ... mulai lagi ....

Baru saja turun dari kuda, Amadia tak tahan untuk mengernyitkan alis ketika Stas menyambutnya heboh. Ia lelah karena seharian berkeliling pasar. Belum lagi mata berat dan sembap karena menangis dalam waktu lama bersama Arelia. Kini, ia bertambah letih akibat pelayan tak tahu sopan santun itu berteriak dengan suara yang menyakiti telinganya.

"Aku pergi bersenang-senang bersama anak itu," aku Amadia. Dagunya mengarah pada Arelia yang masih ada di atas kereta usang. Ia berusaha menjaga ekspresi seolah-olah tak peduli.

Stas kemudian melirik Arelia. Amadia ingin sekali mencolok mata yang menyorot sinis itu. Namun, ia lagi-lagi harus menahan keinginannya.

Belum, Amadia, belum.

"Aku kira, Nona tidak berangkat hari ini. Para dayang jadi tak menyiapkan kereta yang layak. Lihat ini! Kulit Nona yang seputih susu harus berubah gelap. Pasti Nona menderita gara-gara dia. Lagipula, kenapa Nona tidak member--"

"Sudahlah, Stas. Aku baik-baik saja. Jangan terus bicara. Aku lelah. Aku ingin mandi dan beristirahat. Tolong kau persiapkan segala keperluanku."

Tanpa menunggu tanggapan dari sosok di hadapannya, Amadia menghampiri Arelia. Ia membantu gadis itu turun dari kereta, kemudian beriringan menuju mansion. Namun, baru dua langkah, ia berhenti dan menoleh pada Stas lagi.

"Panggil yang lain untuk membereskan semuanya," pintanya. Ia lantas melanjutkan langkah tanpa peduli ekspresi kesal sang pelayan kurang ajar.

* * *

Ruangan itu sangat pengap. Dua emosi bercampur menjadi satu. Tangis ikut meramaikan. Sedih, putus asa, dan kesakitan.

"Ampun, Bu. Ampuni aku ...."

Dengan lemah, kata-kata itu keluar. Sang empunya suara meringkuk ketakutan. Sementara perempuan yang lebih dewasa berdiri dengan mata menyorot penuh emosi.

"Kenapa kau harus hadir di dunia ini? Kenapa kau membuatku menderita? Membuat aku berjauhan dengan keluargaku sendiri! Aku benci padamu. Benci!"

"Maafkan aku, Bu. Maaf karena sudah merusak kebahagiaan Ibu. Maaf ... maaf ...."

"Ya! Kau memang perusak kebahagiaan! Kau membuatku menderita!"

Setelah itu, bunyi pukulan kembali terdengar. Kali ini lebih banyak dan kencang. Si gadis meringkuk tak berdaya. Ia terus merintih dan meminta maaf penuh kesedihan. Pipi yang memerah serta beberapa lebam di tubuh menjadi bukti betapa menderitanya gadis itu.

Sementara, sang pelaku pemukulan tiba-tiba ambruk, terduduk dengan kepala menunduk. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dan menangis keras.

"Kenapa kau membuatku seperti orang jahat?" tanyanya, lemah. Lagi-lagi, hanya 'kenapa' yang keluar dari bibir pucat itu.

"Aku tidak suka melihat wajahmu yang hanya mengingatkanku pada penderitaan! Kau harusnya tidak ada, Sialan!"

Bagai orang kesetanan, perempuan itu bangkit lagi dan melayangkan pukulan-pukulan pada si gadis malang. Wajahnya begitu bengis. Air mata yang meleleh di pipinya diiringi bahana tawa yang menyeramkan.

"Tidak! Hentikan! Hentikan! Kumohon!"

Amadia terbangun dengan wajah penuh keringat. Napasnya tak beraturan. Jantungnya berdegup cepat. Sesak.

Ia memegangi dada yang terasa sakit sambil terus mengatur napasnya. Dua perempuan dalam mimpi tadi sudah tidak asing lagi baginya. Mereka adalah pemilik asli tubuh ini dan Arelia.

Villainess Wants Happy Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang