25. Guardian Ceremony

7.9K 915 23
                                    

Dalam keadaan sempoyongan, Amadia keluar dari pusat pesta menuju taman belakang yang dipenuhi pepohonan besar, tempat paling tersembunyi. Dia beberapa kali melirihkan umpatan kala rasa sakit menerjang kepalanya.

"Ah, sial, sekali! Mengapa aku tidak berani menolak dan hanya menerima minuman itu dengan pasrah," sesalnya.

Malam itu, ia begitu senang sebab ibu serta saudara tirinya mengajak ke pesta salah satu bangsawan. Padahal, ia selalu kesulitan jika ingin bergabung bersama mereka. Tanpa merasa curiga sedikitpun, ia mengiakan ajakan ketiga orang tersebut dengan semangat.

Hasilnya? Amadia menjadi bulan-bulanan di sana. Bodohnya lagi, dia rela menggantikan Luisa--salah satu adik tirinya--menghabiskan minuman beralkohol sebagai hukuman dari permainan yang orang-orang ciptakan.

"Uh, perutku ...!"

Dalam kepayahan, Amadia berjongkok sambil menutup mulutnya. Dia bersandar pada pohon di belakangnya, lalu memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak dalam perutnya.

Sementara itu, tanpa disadari Amadia, ada seorang laki-laki yang duduk di atas dahan.

Sebelumnya, sosok itu bersiap melakukan serangan melihat ada seseorang di bawahnya. Namun, begitu melihat tak ada aura berbahaya dari sana, dia langsung menurunkan kewaspadaan dan mengurungkan serangannya.

"Oh! Tidak adakah orang yang benar-benar menyayangiku di dunia ini? Aku ingin mati saja! Aku ingin mati!"

Si laki-laki sedikit tersentak kala sosok yang dikira tertidur itu mendadak berseru. Dia yang tadinya hendak pergi dari sana, menjadi tertarik. Apalagi, dia mendengar kegetiran dalam suara parau tadi.

Gadis ini mabuk, ya? Keluarga bangsawan mana yang membiarkan anak gadisnya dalam keadaan memalukan seperti ini? batin laki-laki itu sembari turun dari atas pohon.

Bunyi kaki yang beradu dengan tanah mengusik Amadia. Gadis yang mengenakan gaun cerah berbagai warna dengan hiasan berlebihan itu membuka mata perlahan-lahan. Saat itu juga, sepasang iris cokelatnya bertemu dengan iris emas yang begitu menghanyutkan.

"Hei, kau siapa? Kenapa ada di sini? Apakah kau juga sedang bersedih karena keluargamu sendiri mengabaikanmu? Wah, kita sama!" Amadia bertepuk tangan sambil tertawa. Dia dengan berani mengelus pipi kanan sosok di depannya, lalu melanjutkan, "Karena nasib kita sama, mari kita saling menghibur. Kau yang tampan saja diabaikan. Padahal, jika jadi mereka, aku akan mengurungmu di kamar."

Si pemuda menaikkan sebelas alisnya. Dia merasa tergelitik untuk tertawa, tetapi sekuat mungkin ditahannya karena tak ingin menghancurkan suasana hati gadis melantur itu.

"Mengurungku di kamar? Untuk apa?" tanyanya setelah beberapa saat.

Amadia mengerjap pelan, tawanya perlahan-lahan surut dan berganti sendu.

"Tentu saja untuk menemaniku. Kau tahu? Aku memiliki ayah, dua orang saudara kandung, ibu tiri dan dua saudara tiri. Namun, mereka semua tidak ada yang mau bermain denganku. Apakah karena aku jelek?"

Pertanyaan polos dengan air muka menggemaskan itu sontak membuat sang laki-laki tak dapat menahan tawanya lagi. Gadis di depannya sungguh menghancurkan atmosfer sedih yang tercipta.

"Hei, mengapa kau malah tertawa? Aku serius. Atau, jika kau tak ingin kukurung, kau ikut saja ke kediamanku. Selain tampan, kau juga punya mata yang indah, ya. Aku suka, aku suka." Ucapan Amadia makin melantur.

Meski begitu, sang laki-laki sama sekali tak merasa terganggu. Dia malah menyamankan posisinya dan menatap lekat Amadia.

"Kau sama sekali tidak jelek," gumamnya.

Villainess Wants Happy Ending (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang