Amadia mengucapkan terima kasih saat Shura membantunya turun dari kereta. Sementara Arelia, dia sendiri yang melakukan hal tersebut.
Rombongan penghuni Mansion Rutella akhirnya tiba di depan gerbang istana yang terbuka lebar. Sambil menggandeng sang putri, pandangan Amadia berkeliling. Decak takjub lolos begitu saja begitu melihat pemandangan di sekitarnya. Ada hiasan bunga-bunga yang indah. Belum lagi karpet merah yang melapisi sepanjang jalan.
Bila ada kesempatan kembali ke dunia asalnya, dia ingin sekali menceritakan ini pada murid-muridnya. Tak peduli meski akan sulit dipercaya.
"Ibu? Mengapa diam saja? Apakah sebaiknya kita kembali saja?" tanya Arelia, menyentak lamunan si empunya nama.
"A-ah? Tentu saja tidak, Sayang." Amadia mengerjapkan mata, lalu tersenyum. Dia melihat ke balik tubuh anaknya. "Iona dan Shura, tolong, ya. Mari kita masuk."
Detik selanjutnya, wanita yang mengenakan busana berpasangan dengan putrinya itu mengayun langkah. Genggaman keduanya mengerat saat jarak makin ketat.
Angin berembus pelan, menerbangkan anak rambut Amadia yang dibiarkan di kedua sisi. Para pengawal yang mulai terlihat dan melihat rombongan itu dibuat terkejut.
Sebagai penjaga, mereka dilarang berbicara saat bertugas. Amadia bersyukur akan hal itu. Meskipun sorot-sorot heran tak dapat disembunyikan, dia merasa terbantu karena mereka menahan mulutnya rapat-rapat.
"Ibu, apakah tidak apa-apa kita ke sini? Mengapa para penjaga itu seperti tidak suka melihat kita?"
Amadia sontak menghentikan langkah saat mendapatkan pertanyaan dari Arelia. Dia menoleh, dan melihat ketakutan tergambar jelas di wajah gadisnya yang hari ini tampak sangat cantik.
Dia lantas memegang pundak Arelia, pasangan ibu dan anak itu kini berhadapan.
"Dengarkan Ibu, Nak," Amadia menatap lekat pada kedua mata sang putri, "kau harus berani. Lawan ketakutan yang disebabkan oleh dirimu sendiri! Mengapa kau harus berani dan melawan? Karena kau adalah putri Ibu yang kuat, putri Ibu yang cerdas. Paham, Nak?"
Arelia merasakan sesuatu yang sejak tadi menekan dadanya perlahan-lahan terangkat berkat ucapan sang ibu. Dia lega. Keyakinan dalam sorot indah sosok di depannya berhasil membuat dia menemukan keteguhan itu.
Maka, tanpa ragu lagi, Arelia menyengguk.
Amadia tersenyum puas. Dengan gemas, disentuhnya ujung hidung Arelia hingga menbuat gadis itu tertawa kecil. Manis sekali.
Di belakang mereka, Shura dan Iona berpandangan, mereka berdua ikut menarik sudut bibir. Yang lain pun ikut merasakan kebahagiaan tersebut.
"Maaf, Lady. Bisakah Anda menunjukkan undangannya?"
Sudah kuduga. Amadia menoleh pada Shura, lantas memberi kode agar memberikan apa yang diminta oleh penjaga pintu masuk.
Namun, suara berat di belakang sana membuat sang pelayan menghentikan gerakannya. Semua orang sontak menoleh kompak pada asal suara.
"Tidak perlu seperti itu. Dia putri dan cucuku.
Baltasar berdiri gagah, di sisi kanan dan kirinya ada dua pemuda tampan, Caivan dan . Sementara di belakang mereka, ada Elisa dan dua bersaudara kembar.
Pengikut Amadia di Mansion Rutella sigap menyingkir, memberi jalan pada salah satu keluarga berpengaruh dari lima lainnya di Kekaisaran Petia tersebut.
Begitu Baltasar berhasil mendekat, bukan Amadia saja yang terkejut, tetapi para penjaga gerbang juga. Mereka langsung menunduk segan.
"Jangan tahan anak dan cucuku dengan segala peraturan di istana ini. Mereka sudah mendapatkan undangan khusus dari Baginda Kaisar. Aku yang menjamin hal itu," ucap Baltasar, tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villainess Wants Happy Ending (Completed)
FantasyAmadia Dulce Fidel merupakan bangsawan dari keluarga Fidel. Tepatnya, putri pertama Grand Duke Baltasar Andres Fidel. Dia diasingkan oleh keluarganya sendiri karena dianggap melakukan hal yang memalukan. Hamil di luar nikah. Karena hal tersebut, Ama...