[Sin 3]

322 55 19
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau bukan berkat denting sendok dan garpu, ruang makan malam ini--dan malam-malam lainnya--tidak akan bernyawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau bukan berkat denting sendok dan garpu, ruang makan malam ini--dan malam-malam lainnya--tidak akan bernyawa. Tiga orang dewasa yang mengelilingi meja hanya menatap makanannya, tanpa berniat menyelingi momen itu dengan berbasa-basi. Sesekali Ari melirik ayah dan ibunya, lalu kembali mendengkus. Kehangatan yang pernah ia rasakan dulu ikut lenyap bersama kematian Rey. Entah bagaimana caranya, Ari masih berusaha menemukan jalan pulang. Dunianya perlu dikembalikan seperti semula.

Kecanggungan itu berlangsung cukup lama hingga piring menyisakan separuh porsi. Perayaan yang harusnya diiringi kebahagiaan nyatanya tak semegah yang dikira. Ani perlahan mengusap punggung tangan putranya, membuat Ari mendongak dan tersenyum tipis. Mereka pun saling pandang, seolah memiliki dunia sendiri tanpa kehadiran Galis.

"Gimana magangnya?" tanya Ani lembut.

Ari memandangi ayahnya. Meski tampak tak acuh, Galis ikut menyimak percakapan tersebut. Ia tidak tertarik, memang, tetapi izin yang diberikannya pada Ari bukan tanpa alasan. Orang tua mana yang sudi melihat anaknya kembali menginjak tempat laknat itu? Galis tidak bodoh, hanya sedang memberi kesempatan.

"Nggak gimana-gimana, kok, Bu. Masih gitu-gitu aja. Kelas yang Ari pegang juga belum ganti," Lelaki berkulit kuning langsat itu memucat dan menelan ludah, "masih di kelas Rey."

Ani tak tahu-menahu soal keberanian Ari malam ini. Jelasnya, ia cukup gelagapan saat sang putra tiba-tiba menyebut nama yang terbilang 'haram' di sini. Ia makin tak berkutik saat Galis menghentikan makannya, lalu membawa piring ke dapur. Ingin kakinya menyusul, tetapi sorot mata Ari ketika melihat kepergian ayahnya jauh lebih penting.

Sejak hari itu, Galis terasa jauh. Dulu, Ari masih memakluminya karena ia juga terluka. Entah lebih besar atau kecil, ia tidak peduli. Rasa yang mereka miliki harusnya sama. Namun, jarak yang hadir di antata mereka makin membentang seiring berjalannya waktu. Bahkan, kian menjadi-jadi saat Ari mengajukan proposal magang di SMA-nya.

"Ibu lega kalau kamu nggak kenapa-napa. Nggak kesulitan atau apa gitu. Pak Ihsan tadi mengirim pesan, katanya kamu disambut baik di sana."

"Iya, syukurlah. Lagian, apa yang mau mereka lakukan ke Ari? Gini-gini, Ari sempat jadi aset mereka, kan?"

[2] Stepb: The Other Sin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang