[Sin 8]

184 41 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lelaki yang menatap lantai masih mengentak-entakkan kaki, menunggu sosok yang dapat menjawab seluruh pertanyaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lelaki yang menatap lantai masih mengentak-entakkan kaki, menunggu sosok yang dapat menjawab seluruh pertanyaannya. Sesekali ia berjalan mondar-mandir, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menggebraknya tanpa alasan. Telepon dari rekan rahasia--dan istimewa--membuatnya berpikir negatif, meski itu pada anaknya sendiri. Pram tetaplah sama, menomorsatukan segala hal sebelum Doni.

Sebelumnya, Fauzan, kepala sekolah SMA Kemuning mengirim pesan singkat yang ia respons lewat panggilan. Berbicara secara langsung akan lebih rapi dibanding membincangkannya dalam deretan tulisan.

"Maksudnya bagaimana, Pak?" tanyanya tanpa salam.

"Tadi siang saya melihat Doni ngobrol sama Ari. Sebentar sebenarnya, Pak, tapi Pak Pram bisa mengonfirmasi ini ke anaknya nanti."

"Ari? Mau apa lagi anak itu?" Pram refleks menendang kaki meja di sampingnya.

"Dia sedang magang di sini, Pak. Saya pikir nggak ada masalah, selama anak-anak bisa diajak kompromi."

Pram mengusap rambutnya lalu mengangguk. "Baiklah. Nanti saya tanyakan."

Panggilan itu tak berjalan lama. Pram tak pernah berbasa-basi dengan orang yang juga menuntunnya ke kursi kementerian nanti. Selama urusannya selesai dan masalah mereka--kali ini ia juga terlibat--tertutup dengan baik, semua akan baik-baik saja.

Ia pun kembali duduk, meredakan gemetar pada tangan dan kakinya. Kemudian ia menopang dagu dan mencoba mencari jawaban sendiri. Sayang, pemikiran Doni terlalu abu-abu untuk diselami. Tak jarang ia juga harus mengambil alih keputusan lelaki itu. Bahkan, saat Doni ingin meluruskan semuanya, Pram terpaksa ikut campur.

Bunyi suara mobil yang familier sontak mengaburkan lamunan. Pram lekas keluar ruang kerjanya dan berjalan ke ruang tamu. Ia lantas duduk, menyilang kaki dan bersedekap. Tatapannya tertuju ke ambang pintu, memperhatikan anaknya yang menyeret tas asal-asalan.

Doni menelan ludah. Tidak biasanya sang ayah menunggu pulangnya seperti ini. Ia mencoba tak acuh dan (berniat) langsung naik ke lantai dua. Namun, panggilan Pram menghentikan langkahnya. Ia pun menoleh dan menunduk sekilas, sebelum menghampiri ayahnya yang kini menegapkan tubuh.

[2] Stepb: The Other Sin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang