Jam kosong di SMA Kemuning terbilang lain daripada yang lain. Mau ada atau tidak ada guru, posisi duduk para siswanya tetap di tempat masing-masing. Tidak ada yang bergeser, sekadar menertawakan hal receh atau mendiskusikan gosip hari ini. Semua tampak sama saja, kompak meneliti setiap angka yang tertera di buku materi. Kalau alasannya karena berada di tahun terakhir, seharusnya dua tahun lalu mereka tak melakukan hal yang sama.
Ari memainkan kursor laptopnya asal. Tatapannya kosong, terpaku pada lantai yang tak berdebu sedikit pun. Ia mencoba mengalihkan perhatian setelah mendapati Rama terus-menerus menunduk dan menggigit jari. Mungkin, memang bukan salahnya, tetapi ia tidak ingin memperparah keadaan.
Sesekali Ari melirik ke deretan paling kiri--darinya yang duduk di meja guru--tepatnya di dua kursi bagian depan. Ia sadar bahwa Sam dan Luis juga mencuri pandang, meski setelahnya memalingkan wajah dan berpura-pura tak tahu apa-apa.
Setelah bel istirahat berbunyi, Rama lekas mengemasi barangnya dan bergegas keluar. Tak mau ketinggalan, Ari turut menutup laptop--tanpa mematikannya--dan menyusul lelaki itu. Tepat di depan ambang pintu, ia dapat menahan tangan Rama yang gemetaran tak karuan, lalu mengajaknya menepi agar tak menghalangi jalan.
"Lo nggak apa-apa, Ram?"
Dibanding menjawab, Rama justru celingak-celinguk, mencari dua lelaki mata-mata Doni. Ia menelan ludah saat genggaman Ari makin kuat dan hangat. Sam dan Luis tak kunjung keluar, membuatnya panas-dingin dan menduga-duga. Susah payah Rama berusaha melepaskan diri, tetapi Ari terus menatapnya dengan sorot yang sendu dan penuh harap. Ia pun pasrah dan melemas.
"Lo disakiti anak-anak Fanstrio itu? Iya? Mana yang sakit?"
Dari ribuan kalimat, Rama luruh hanya karena tak kuat menjawab jika ia tidak baik-baik saja. Terlalu banyak pertanyaan hingga ia tidak memiliki kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri. Ia ingin menggeleng sekuat mungkin, meluapkan kebenaran yang terkunci di kerongkongannya, tetapi mengingat ikatan yang Doni buat, Rama hanya bisa mendengkus dan menunduk.
Ari tak lekas menyerah, ia mengusap punggung tangan lelaki itu, berusaha menenangkan, berusaha menjelaskan bahwa ada ia di sini. Melihat Rama mengingatkannya pada raut Rey ketika sang ayah melakukan hal yang sama dengannya, mengulik kebenaran. Bedanya, sekarang ia mencoba untuk percaya tanpa menyela.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Stepb: The Other Sin ✔
Teen Fiction[Disarankan Baca Stepb: The Guilty One terlebih dulu] Setelah kematian adiknya, Ari kembali menginjak SMA Kemuning dengan harapan menemukan angin segar. Perundungan dua tahun lalu ternyata masih hidup dan menuntunnya pada fakta-fakta tersembunyi. Ma...