[Sin 4]

270 57 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pendingin ruangan yang tidak pernah dimatikan--selama jam sekolah--harusnya cukup untuk mengusir hawa panas di dalam tubuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pendingin ruangan yang tidak pernah dimatikan--selama jam sekolah--harusnya cukup untuk mengusir hawa panas di dalam tubuh. Terlebih saat sunyi menjadi satu-satunya yang tersisa di sana, menemani Ari yang menolak untuk makan bersama di kantin. Sayang, lelaki berkemeja batik yang memutar lagu melalui ponsel itu tetap berkeringat dingin. Ia tidak kelelahan. Ia juga tidak kelaparan. Ia lebih haus akan isi komputer yang ada di hadapannya.

"Tolong bantu pindahkan ini, ya, Ri. Di bagian E, nanti ada folder tahun ini, khusus kelas sepuluh saja," pinta Ihsan tadi, sebelum meninggalkan ruangan.

"Baik, Pak."

"Makasih, ya. Kamu nitip apa? Harus makan, lho, nanti kalau sakit yang kena Bapak. Ibumu galak."

Ari tertawa kecil. "Air putih saja, Pak. Sebentar lagi Toni datang, kok."

"Ooh, sudah titip makanan? Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, ya."

Ari hanya mengangguk. Sedetik kemudian ia kembali ke depan layar, memperhatikan puluhan folder berangka yang baru kali pertama dilihatnya. Komputer tak ber-password ini memuat data siswa dari tahun 2000-an, jauh sebelum ia menginjak sekolah ini. Meski sempat terkecoh, ia membuka fail yang harus dipindah.

Satu per satu Ari mengetikkan kembali isi dalam formulir ke excel yang sudah dibuat gurunya. Dulu, ia juga dimintai lembar jawaban yang sama, yakni tentang prospek calon alumni Kemuning. Berbagai pertanyaan seperti minat, tujuan hingga kontribusi terhadap sekolah harus mereka--siswa kelas XII--jawab tanpa terlewati.

"Doni Mahendra," gumam Ari setelah sampai ke nama yang sangat dihafalnya.

Baris demi baris yang semula biasa saja kini lebih berarti. Tulisan tangan yang lebih buruk dari yang terpikirkan itu susah payah ia telan. Makin dibaca, makin paham, makin dalam pula lukanya. Tanpa sadar, Ari meremas lembaran itu sampai tak berbentuk.

Masa depan, ya? Enak sekali, batinnya. Saat raga yang harusnya sama-sama berjuang telah terkubur, dengan gampangnya mereka masih memikirkan hal ini? Ari tidak habis pikir. Napasnya mulai memberat. Oksigen di sekitarnya seolah direnggut memori pahit. Senyum tipis yang tertera pada foto 3x4 makin membuatnya gusar.

[2] Stepb: The Other Sin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang