Masih panas dan kalang kabut, lelaki yang berkacak pinggang mencoba menenangkan diri dengan mengusap rambut dan memijat tengkuk. Para guru telah memasuki kelas sesuai perintah, menyisakan ia, dua orang humas dan dua teknisi. Mereka kompak menatap layar yang menunjukkan CCTV di hampir setiap sudut sekolah. Klip demi klip dari berbagai jam dibuka satu per satu dengan teliti, tidak ingin melewatkan momen penting sedikit pun.
"Ini, Pak!" seru salah satu teknisi sambil memperbesar layar.
Gelap. Hanya itu yang Fauzan katakan dalam hati. Tidak hanya lorong di sekitar laboratorium komputer yang menjadi penyebabnya, tetapi juga sosok yang ditatap turut menyumbang alasan. Bagaimana tidak? Pakaian serba-hitam, mengenakan masker dan topi pula. Tak sedikit pun celah untuk bisa mengetahuinya. Bahkan, (yang diduga) lelaki itu menunduk dan berjalan menghindari kamera, seakan sudah hafal tata letaknya.
"Ke mana perginya? Coba cek di sekitar gerbang depan dan belakang."
Satu-satunya lelaki yang duduk di depan komputer segera mengangguk dan mencari fail yang diminta. Ia lantas menunjukkan video yang Fauzan cari. Sayangnya, mereka semua tidak ada yang mendapati gerak-gerik seseorang. Kali ini bukan salah sudut pandang kamera--berhubung mencangkup seluruh wilayah teras--melainkan memang tidak ada tanda-tanda dari si pelaku.
"Masuknya nggak jelas, keluarnya juga nggak jelas. Sialan!"
Fauzan menendang kursi, membuat rekan di sekitarnya tersentak dan mengelus dada. Ia mengacak rambut frustrasi, tidak habis pikir dengan lawannya kali ini. Ia tidak ingin mengakui kemampuan siapa pun yang tengah mempermainkannya--juga sekolah dan pihak lain, tetapi apa yang ia hadapi benar-benar tidak mudah.
Setelah berhasil melacak unggahan yang hingga kini masih memenuhi tagar berbagai media sosial, ia dan seluruh rekan--guru dan karyawan--dikejutkan dengan lokasi yang ternyata tak jauh dari mereka, yaitu laboratorium komputer Kemuning, terletak di gedung ketiga. Sayangnya, fakta tersebut tak sepenuhnya mendukung pencarian. Tentu, batinnya, sosok yang menyalakan api padanya tidak mungkin sebodoh itu.
"Ketemu, Pak. Pelakunya pakai komputer kelima belas dan memakai akun ini untuk masuk dan mengakses internet."
Fauzan lekas mendekat, mengarahkan layar secara brutal hingga membuat lelaki di sampingnya menelan ludah, miris. Ia refleks membenahi letak kacamata saat membaca nama beserta nomor induk siswa yang familier, tetapi tidak mungkin tertera di sana. Keningnya seketika berkerut dan ia pun menggigit jari. Bagaimana bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Stepb: The Other Sin ✔
Teen Fiction[Disarankan Baca Stepb: The Guilty One terlebih dulu] Setelah kematian adiknya, Ari kembali menginjak SMA Kemuning dengan harapan menemukan angin segar. Perundungan dua tahun lalu ternyata masih hidup dan menuntunnya pada fakta-fakta tersembunyi. Ma...